Saudi telah mengambil langkah mediasi bagi terjadinya konflik di Sudan dengan mengupayakan terjadinya sebuah gencatan senjata baru untuk memungkinkan pihak-pihak yang bertikai untuk memulai perundingan damai.
KHARTOUM - Baku tembak dan serangan udara kembali terjadi pada Minggu (7/5) di ibu kota Sudan yang telah diguncang oleh pertempuran selama empat pekan meskipun ada upaya gencatan senjata terbaru yang didukung oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS).
Beberapa kesepakatan gencatan senjata telah diumumkan dan dengan cepat dilanggar sejak pertempuran meletus antara tentara dan pasukan paramiliter RSF pada 15 April di negara yang dilanda kemiskinan dengan sejarah panjang ketidakstabilan politik itu.
Pertempuran sengit sejak itu telah menewaskan sedikitnya 700 orang, kebanyakan dari mereka warga sipil, melukai ribuan orang dan mendorong eksodus massal warga Sudan dan asing.
Di Khartoum terpantau jet tempur telah membom posisi musuh saat penduduk yang ketakutan tetap terkurung di dalam rumah di tengah kekurangan air, makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Sementara itu si seberang Laut Merah, di Kota Jeddah, Arab Saudi, pembicaraan sedang berlangsung untuk mencapai gencatan senjata yang dapat membantu upaya untuk membawa bantuan kemanusiaan kepada penduduk yang terkepung.
Para jenderal yang memimpin pihak yang bertikai, saling menyalahkan atas kekerasan itu, tetapi tidak banyak bicara tentang pembicaraan yang diadakan di Jeddah sejak Sabtu (6/5).
"Pembicaraan itu membahas bagaimana gencatan senjata dapat diterapkan dengan benar untuk melayani pihak kemanusiaan," ucap juru bicara militer Sudan, Brigjen Nabil Abdalla.
Sedangkan pihak Riyad dan Washington DC telah mendukung pembicaraan pranegosiasi ini dan mendesak pihak yang bertikai untuk terlibat secara aktif.
Menurut peneliti Sudan di Universitas Gothenburg, Swedia. Aly Verjee, agar perundingan ini bermakna, setiap deklarasi gencatan senjata baru akan membutuhkan proses yang kredibel untuk memantau dan memverifikasi ketidakpatuhan gencatan senjata, dan konsekuensi yang disepakati bersama jika terjadi pelanggaran gencatan senjata.
Sedangkan menurut Andreas Krieg dari King's College London mengatakan bahwa pertempuran Khartoum dengan cepat berkembang menjadi perang gesekan dimana kedua belah pihak memiliki kemampuan dan kapasitas yang sama.
Tantangan Limpahan
Baik tentara maupun RSF telah berusaha menampilkan diri mereka sebagai pelindung nilai-nilai demokrasi, meskipun telah bersama-sama melancarkan kudeta terbaru Sudan pada tahun 2021.
Jenderal Burhan dan Jenderal Daglo yang memimpin RSF, bersama-sama menggulingkan otokrat lama Sudan, Omar al-Bashir, dalam kudeta pada tahun 2019, menyusul terjadinya aksi protes massa prodemokrasi.
Administrasi militer-sipil seharusnya mengarahkan Sudan pasca-Bashir menuju demokrasi, tetapi para jenderal meluncurkan kudeta lain pada tahun 2021 untuk mengambil alih kekuasaan penuh.
Sejak saat itu mereka telah terjerumus dalam perebutan kekuasaan, dengan titik nyala terbaru ketika sebuah rencana untuk mengintegrasikan RSF ke dalam tentara dicetuskan dan hal itu menyulut konflik yang meledak menjadi perang terbuka empat pekan lalu. AFP/I-1