Literasi merupakan bagian penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Literasi tidak hanya sekadar kemampuan membaca, tapi merupakan kemampuan untuk menerima dan mengartikulasikan informasi menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Perpustakaan menjadi salah satu tempat kegiatan literasi. Namun, saat ini perpustakaan mengalami beberapa tantangan, seperti sulitnya mengakses perpustakaan maupun bersaing dengan informasi yang semakin mudah diakses melalui teknologi informasi yang semakin pesat.

Untuk mengupas literasi dan perpustakaan, Koran Jakarta mewawancarai Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan literasi di Indonesia?

Persoalan Indonesia adalah rendahnya indeks literasi. Literasi adalah kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu objek ilmu pengetahuan. Tentu, seorang pilot jauh lebih lincah menerbangkan sebuah pesawat, ketimbang seorang penyelam. Itulah definisi tentang literasi.

Berpuluh-puluh tahun kita hanya berkutik pada sisi hilir. Sisi hilir adalah masyarakat yang terus dihakimi, sebagai masyarakat yang rendah budaya bacanya, yang otomatis karena diklaim sebagai rendah budaya bacanya maka pasti rendah indeks literasinya.

Kalau rendah budaya baca, rendah indeks literasi maka menurut kami adalah fakta jika daya saing Indonesia dalam skala global rendah.

Dalam literasi ini, bagaimana seharusnya sektor hulu berperan?

Sisi hulu adalah kehadiran sebuah negara yang di dalamnya ada eksekutif, ada legislatif, ada yudikatif TNI-Polri. Selain itu, ada para pakar definisi dari perguruan tinggi, ada swasta, ada para profesi profesional, ada para penulis, ada pada penerbit. Semua komponen bangsa bisa memastikan kehadiran buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

Apa kendala terbesar dalam literasi ini?

Persoalan kita adalah keterbatasan bahan bacaan. Rasio antara jumlah penduduk Indonesia dengan buku yang ada di perpustakaan umum sebagai milik masyarakat, kalau ditotal rasio nasionalnya 0,09. Artinya, satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun.

Ini menjadi persoalan utama, sehingga Indonesia berada pada posisi terendah dalam hal indeks kegemaran membaca.

Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan mengatasi kekurangan buku ini?

Salah satu cara yang paling baik ditempuh untuk mengurangi rasa keterbatasan buku secara nasional adalah kepala daerah harus rela, mau, dan bertanggung jawab untuk menuliskan buku-buku yang sesuai dengan konten lokal.

Konten lokal ini adalah tentang asal-usul budayanya, asal-usul tentang geografinya, potensi sumber daya alam, dan sumber pariwisata daerah itu. Konten lokal ini juga bagian terpenting dalam mendukung program pemerintah yang utama.

Sebagaimana kita tahu bahwa pendapatan APBD kita terbesar salah satunya dari parawisata. Kehadiran konten lokal ini untuk bisa kita angkat ke tingkat dunia. Agar dunia lebih banyak tertarik untuk datang dan mengenal Indonesia.

Kesiapan perpustakaan saat ini sendiri seperti apa?

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan daerah memiliki perpustakaan. Provinsi telah memiliki dan membentuk perpustakaan berupa Dinas Perpustakaan dan digabung dengan Kearsipan dan rata-rata sudah terakreditasi A.

Sedangkan di kabupaten/kota total 514 kabupaten dan kota masih ada yang sama sekali belum ada. Penting untuk terus memberikan penegasan dan edukasi bahwa pembentukan kelembagaan Dinas Perpustakaan di kabupaten-kota ada merupakan salah satu urusan konkuren mendasar sebagaimana diamanatkan.

n m ma'arup/P-4

Baca Juga: