» Keppres Nomor 6 Tahun 2021 merupakan babak baru dalam upaya pemerintah menarik piutang BLBI.

» Jadi yang ditagih bukan hanya 108 triliun rupiah, tapi juga dari obligasi rekap yang nilainya, dengan bunga berbunga sampai 2043 bisa ribuan triliun rupiah.

JAKARTA - Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dibentuk Presiden Joko Widodo pekan lalu diharapkan tidak hanya mengejar dana 108 triliun rupiah yang berasal dari tunggakan pemilik bank, tetapi juga menelusuri kerugian dari penempatan obligasi rekapitalisasi (rekap) ke beberapa bank yang nilainya lebih fantastis.

Hal itu untuk memaksimalkan penagihan piutang negara yang bisa digunakan untuk membiayai pemulihan ekonomi nasional, sehingga pemerintah tidak perlu menambah utang baru yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kasus BLBI mencuat, saat krisis moneter 1998 lalu di mana Indonesia meminta bantuan ke Dana Moneter Internasional (IMF) untuk melakukan program Pemulihan Ekonomi Nasional. Atas supervisi IMF, pemerintah diminta menyiapkan anggaran sebesar 600 triliun rupiah untuk penyehatan perbankan yang masih bisa dibantu, sedangkan yang lain dilikuidasi.

Pemerintah kala itu hanya mampu menyediakan sebesar 144 triliun rupiah dana segar yang diberikan ke beberapa obligor pemilik bank untuk memperkuat likuiditas banknya. Kekurangannya sebesar 456 triliun rupiah oleh IMF disarankan melakukan rekayasa akuntansi dengan menempatkan obligasi rekap ke beberapa bank, termasuk bank-bank BUMN, seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN. Adapun bank swasta di antaranya BCA, Bank Danamon, dan Bank Niaga.

Sebagai konsekuensi dari penerbitan obligasi rekap itu, pemerintah sampai sekarang harus membayar bunga 2 persen per bulan, bunga berbunga dari 1998 sampai 2043.

Menanggapi ketegasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menagih piutang negara yang hampir 23 tahun terabaikan, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andi Fefta Wijaya, mengatakan Satgas juga harus menagih segala dampak kerugian negara terkait obligasi rekap.

"Jadi yang ditagih jangan hanya 108 triliun rupiah saja seperti yang disampaikan pemerintah," katanya.

Hal itu penting agar memenuhi harapan masyarakat dan dapat meringankan beban negara. Apalagi, pembayaran kembali dan penyerahan aset para obligor jauh lebih rendah nilainya dibanding obligasi rekap.

Jika mengacu pada rata-rata tingkat pengembalian (recovery rate) aset yang dijual Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya 26 persen.

"Itu perlu dilakukan karena penagihan piutang negara yaitu tunggakan BLBI yang hanya 108 triliun tidak sebanding dengan pembayaran dan aset yang diserahkan para obligator tersebut. Nilai penjualan aset itu hanya sekitar 30 persen dari nilai yang disetorkan. Sedangkan negara harus menanggung obligasi rekap sebesar 400 triliun plus bunga sekitar 600 triliun lebih, maka tanggungan negara mencapai 1.000 triliun rupiah lebih. Jadi, sudah seharusnya obligasi rekap ini juga diperhitungkan, mengingat dampaknya pada postur anggaran kita," kata Andi.

Babak Baru

Dihubungi terpisah, Peneliti Ekonomi dari CORE, Yusuf Rendy Manilet, merespons positif dibentuknya Satgas yang akan menagih piutang BLBI yang oleh pemerintah nilai tunggakannya lebih dari 108 triliun rupiah.

Kendati demikian, dia menilai Keppres Nomor 6 Tahun 2021 tentang pembentukan Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI tidak hanya terbatas menagih BLBI, tapi juga obligasi rekap yang merupakan satu rangkaian dengan nilai yang lebih fantastis yakni 455,3 triliun rupiah beserta bunganya 2 persen perbulan bunga berbunga sejak 1998, dan akan terus dibayar hingga 2043.

"Saya kira adanya Keppres ini merupakan babak baru dalam upaya pemerintah untuk menarik piutang BLBI, idealnya memang Satgas juga bisa mengemban amanah terutama dalam menyelesaikan obligasi rekap," kata Rendy.

Pentingnya memperluas fungsi Keppres, lanjut Rendy, karena momentumnya sangat tepat. Ia mengakui hal ini memang tak mudah karena perlu ada investigasi, pembicaraan lebih lanjut dengan para obligor terkait pembayaran dan aset.

Namun, untuk menyehatkan APBN, mau tidak mau pemerintah harus melakukan semua opsi. n SB/ers/E-9

Baca Juga: