» Bayangkan uang sebesar itu kalau disimpan di bank atau investasi portofolio lain selama 23 tahun maka hasilnya akan jauh lebih besar.

» Aparat penegak hukum juga harus mengusut tuntas skandal yang menyebabkan kerugian besar seperti BCA dan BDNI.

JAKARTA - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) diminta menghitung ulang piutang negara yang dikemplang para obligor/debitor bermasalah. Satgas harus menghitung bunga selama 23 tahun karena para penerima sudah memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan bisnis dan pribadinya.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan kalau dana BLBI yg dikeluarkan sebesar 110 triliun rupiah maka pengembaliannya yang dikejar harus lebih dari itu. "Setidaknya dua kali lipat dari 110 trilliun rupiah yang harus dikejar Satgas BLBI," kata Esther, di Jakarta, Jumat (26/11).

Perhitungan yang lebih besar itu karena memperhitungkan nilai uang di masa lalu yang tidak akan sama dengan nilai saat ini karena inflasi sudah berkali-kali lipat.

"Bayangkan uang sebesar itu kalau disimpan di bank atau investasi portofolio lain selama 23 tahun maka hasilnya akan jauh lebih besar. Belum lagi memperhitungkan opportunity cost yang hilang serta biaya lain yang mungkin timbul pada saat pengucuran BLBI tersebut," kata Esther.

Dia meminta kasus BLBI harus diselesaikan dengan menagih semua obligor BLBI. "Kalau mereka tidak punya dana tunai maka asetnya harus dijual untuk membayar utangnya," kata Esther.

Sementara itu, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro, di hadapan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) baru-baru ini meminta para wakil daerah itu mendukung Presiden Jokowi memerintahkan Kejaksaan Agung, Polri, dan BPK untuk menghitung ulang tagihan BLBI kepada para obligor.

"Satgas BLBI cuma menghitung 110 triliun rupiah padahal jauh lebih besar dari itu karena penggelembungan nilai aset yang diserahkan dan pembayaran bunga oleh pemerintah ke BI selama 22 tahun," kata Sasmito kepada Koran Jakarta, Jumat (26/11).

Di sisi lain, jelas Sasmito, dari penempatan obligasi rekap pemerintah di beberapa bank terus membebani hingga saat ini karena bunganya terus dibayar. Sementara aset bermasalah bank yang diserahkan nilainya sangat kecil.

Dia mencontohkan penyerahan aset BCA yang kemudian dijual melalui privatisasi 51 persen sahamnya senilai lima triliun rupiah, patut diduga bermasalah secara hukum karena bank tersebut memegang obligasi rekap senilai 60 triliun rupiah. Dengan harga pembelian lima triliun rupiah pada 2003, maka pada tahun berikutnya BCA sudah menerima bunga rekap enam triliun rupiah.

"Jadi, BCA itu sebenarnya dibeli gratis sama pemilik saat ini dan sekarang valuasinya sudah 700 triliun rupiah," jelas Sasmito.

Berkaitan dengan pembayaran bunga obligasi rekap sebesar 60 triliun rupiah per tahun selama 22 tahun, Sasmito mengatakan patut diduga 40 persen di antaranya pembayaran fiktif yang dinikmati oleh segelintir elite. Selama 22 tahun pemerintah telah membayar paling sedikitnya 1.200 triliun rupiah bunga obligasi rekap.

Bank Mandiri, misalnya, yang sempat memegang obligasi rekap 100 triliun rupiah, tapi sudah menerima pembayaran bunga 173 triliun rupiah. "Sekitar 73 triliun rupiah itu patut diduga fiktif. Ini baru Bank Mandiri, belum bank-bank lain," kata Sasmito.

Audit BPK

Pengamat Sosial Ekonomi dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan Satgas BLBI harus menagih seluruh kerugian negara sesuai hasil audit BPK. Selain itu aparat penegak hukum juga harus mengusut tuntas skandal yang menyebabkan kerugian besar seperti BCA dan BDNI.

"Penyitaan aset perusahaan yang tidak sepadan dengan fasilitas harus terus dikejar dan bila perlu dipidanakan. Tidak boleh pilih kasih karena ini menyangkut keadilan publik. Pemerintah tidak boleh terlalu memanjakan dan menjadi permainan para obligor. Saatnya bertindak lebih tegas tanpa ragu. Ini benar-benar permainan yang tidak lucu. Seolah memanjakan para obligor dengan fasilitas yang demikian mudah, tapi tanggung jawab mereka sepertinya nihil," kata Surokim.

Kondisi tersebut, jelasnya, tidak boleh dibiarkan dan harus diusut karena masuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena berpotensi terus merugikan negara dalam jumlah sangat besar.

Baca Juga: