Dana desa prinsipnya dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan oleh masyarakat. Maka, dapat dibayangkan ketika kepala desa merangkap tokoh, ketua suku, dan ketua adat. Rakyat jelas takut mengawasi.

JAKARTA - Dugaan penyimpangan pengelolaan dana desa sangat besar. Hal itu diketahui dengan adanya ribuan laporan penyimpangan dari masayarakat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Demikian keterangan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, di bantul, Rabu (1/12).

Dia megnatakan ini saat peluncuran "Desa Antikorupsi" di Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ribaun laporan tersebut akan ditindaklanjuti bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. "Sejak peluncuran dana desa, banyak sekali laporan masyarakat kepadaKPK. Ada ribuan laporan," katanya.

Akan tetapi, kata dia, berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, kepala desa bukan pejabat Negara. Mereka juga bukan penyelenggara Negara, sehingga bukan kewenangan KPK untuk menindak.

"Kami berkoordinasi dengan Kementerian Desa PDTT supaya laporan-laporan bisa ditindaklanjuti, paling tidak dilakukan klarifikasi. Jangan-jangan hanya calon kepala desa yang kalah, kemudian melaporkan. Atau masyarakat yang kecewa terhadap layanan desa," katanya.

Namun, apabila laporan penyimpangan keuangan oleh kepala desa ada hubungan dengan penyelenggara negara, pejabat Negara, atau aparat penegak hukum, KPKdapat menindak.
Alex lalu bercerita, beberapa bulan lalu, ketika KPK melakukan OTTbupati di Jawa Timur, ada 20 calon pelaksana tugas (Plt)) kades ditindak. Sebab untuk menjadi Plt kades saja mereka bersedia menyetor uang. Pasti harapannya, kalau nanti ditunjuk Plt, ada sesuatu yang bisa diambil.

Masih Untung

Alexander mengatakan, sekarang rata-rata desa mengelola dana sebesar 1,6 miliar rupiah. Apabila masa jabatan enam tahun, potensi dana desa sekitar 9,6 miliar rupiah. Jadi,katakan, kalau bisa mengambil 10 persen saja sudah 900 juta rupiah. Mereka masih untung dibanding pengeluaran ketika maju kepala desa,misalnya habis, 500 juta rupiah.

"Dana desa prinsipnya dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan oleh masyarakat, sehingga dapat dibayangkan yang terjadi ketika kepala desa merangkap tokoh, ketua suku, dan ketua adat. Rakyat jelas takut mengawasi," katanya.

Maka, menurut Alex, perlu dilihat apakah desa mampu mengelola dana bila dikucurkan secara tunai. Bila tidak mampu, dapat membentuk program yang dibiayai dana desa yang dilaksanakan pemda. Meski ini juga tidak ada jaminan, tidak akan ada penyimpangan. Namun, paling tidak dengan adanya program akan jelas wujud, fisik, dan seterusnya. "Ini yang perlu dipikirkan ke depan," katanya.

Sementara itu, terkait Program Desa Antikorupsi Panggungharjo, bertujuan mencegah berbagai bentuk korupsi dan penyimpangan anggaran tingkat desa atau kelurahan. "Semoga Program Desa Antikorupsi ini dapat menjadi awal pencegahan korupsi dari lingkup terkecil untuk mewujudkan Indonesia bebas korupsi," kata Alexander.

Ia mengatakan,desa antikorupsi tidak semata-mata menyangkut aparat atau kepala desa, tetapi juga masyarakatnya. Sebab percuma, kalau aparat desa bersih, tetapi warganya tidak mendukung pemberantasan korupsi, sehingga sering menyuap.

Baca Juga: