JAKARTA -Paroki Sunter di Jakarta pada hari Sabtu (9/12), mengadakan Seminar Kebangsaan dengan tema "Ketika Cinta dan Politik Harus Memilih", dengan menghadirkan beberapa narasumber. Salah satu narasumbernya adalah Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo.

Benny, sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa masyarakat perlu menjadi pemilih yang cerdas dan kritis, menjelang pemilihan umum yang akan dilaksanakan tahun 2024 mendatang.

"Menyongsong tahun 2024 mendatang, harus kita sadari bahwa kita harus menjadi pemilih yang cerdas; memilih yang cerdas akan menentukan masa depan bangsa," ujarnya.

Menurutnya, kecerdasan pemilih diperlukan untuk menjaga dan menyelamatkan demokrasi, yang akhir-akhir ini ternodai.

"Putusan MK Oktober lalu memberikan gambaran bahwa nilai-nilai etika demokrasi kita dinodai karena kepentingan seseorang ataupun kelompok. Ini hal yang jelas menyalahi. Sebagai pemilih yang cerdas, kita harus menyadari dan menjadi kritis akan hal ini," terusnya.

Sebutan-sebutan, atau istilah-istilah yang dipakai sebagai jargon untuk terlihat 'gaul' dan dekat dengan anak muda, menurut Benny, harus diawasi.

"Sebutan-sebutan atau istilah yang mengarah pada gaya hidup anak muda sekarang (gen Y dan Z), tanpa ada kedalaman, seperti 'gemoy', 'santuy', sebaiknya jangan langsung ditangkap tanpa dikritisi, benar gemoy, benar santai dan santun, serta sopan? Atau itu hanya sekedar jargon supaya menarik perhatian? Saya pikir, disitulah diuji, apakah masyarakat, apakah pemilih, adalah cerdas dan kritis," lanjutnya.

Dia pun menyoroti bantuan-bantuan sosial yang bisa menjadi kamuflase sebagai sarana 'penyandera' masyarakat.

"Politik bansos, itu dipakai untuk menyogok masyarakat, sehingga masyarakat disandera, merasa hutang budi, karena pembangunan infrastrukturnya, ada bantuan-bantuan sosial langsungnya, sehingga bisa masyarakat menyatakan, 'tanpa pemimpin ini, kita akan hancur dan mundur, maka itu harus memilih yang dia tunjuk sebagai penerusnya'," ujar Benny.

Pakar komunikasi politik ini juga mengutip fabrikasi mitos-mitos yang sekarang, menurutnya, sedang diperkuat.

Lima mitos yang dibuat terus menerus sehingga membuai dan menipu masyarakat kita adalah pertama, mitos pemimpin dan keluarganya adalah rendah hati, orang baik, merakyat, sederhana, dan relatable dengan masyarakat luas; kedua, mitos bahwa semua orang memiliki hak untuk dipilih, padahal tidak semua orang punya 'sendok emas' yang sama; ketiga, mitos sosok yang berumur muda mengerti anak-anak muda, padahal belum tentu benar, apalagi jika sosok tersebut berangkat dari kesempatan yang disodorkan, bukan hasil usaha sendiri; keempat, mitos pemimpin asyik, gaul, memakai jargon-jargon yang terkenal di kalangan anak muda, padahal tidak ada gagasan dan tidak ada kedalaman dalam gagasan dan ide terhadap pembangunan negara; dan kelima, mitos pemimpin netral, padahal ada kepentingan keluarga dan golongan jelas terjadi."

Oleh karena itu, Benny benar mengingatkan agar masyarakat menjadi cerdas dan kritis.

"Jangan mudah termakan isu serta gimmick yang tidak berdasar, tanpa ditelurusi dan diuji terlebih dahulu. Edukasi politik dan sejarah perjalanan bangsa ini, perbanyak informasi yang update dan relevan serta berdasar pada sumber yang terpercaya, serta uji rekam jejak, visi dan misi, serta program-program yang ditawarkan, baik partai politik, ataupun para calonnya," tuturnya.

Di akhir paparannya, Benny mengajak agar semua elemen masyarakat tidak tinggal diam saat demokrasi dan nilai-nilai Pancasila ini dihancurkan di depan mata.

"Buat autokritik, dan strategi perlawanan; tidak dengan kekerasan, perlawanan dengan budaya, informasi, dan kesadaran dengan nyata dan kritis bahwa ini jika dibiarkan, kita masuk perangkap perusak Pancasila, dan Pancasila tidak lagi menjadi ideologi bangsa kita. Ini masalah besarnya, yang harus menjadi perhatian semua orang," tutupnya.

Baca Juga: