Mekanisme keadilan restoratif di Indonesia menjadi polemik karena tercapainya perdamaian sebagai upaya pemulihan korban selalu diakhiri dengan penghentian proses pidana.
Arianda Lastiur Paulina, Indonesia Judicial Research Society ; Aisyah Assyifa, dan Matheus Nathanael
Belakangan ini publik dibuat geram oleh penganiayaan berat yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio (20), anak seorang pejabat Eselon II Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Mario, bersama dua orang temannya, menganiaya seorang remaja berusia 17 tahun.
Di tengah proses hukum yang sedang dijalani oleh masing-masing pelaku, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta sempat menawarkan upaya "keadilan restoratif" agar kasus penganiayaan tersebut bisa diselesaikan secara damai antara pihak korban dan pelaku.
Namun, keluarga korban telah memastikan bahwa tidak ada perdamaian dalam kasus tersebut dan proses hukum harus terus berjalan.
Mekanisme keadilan restoratif di Indonesia menjadi polemik karena tercapainya perdamaian sebagai upaya pemulihan korban selalu diakhiri dengan penghentian proses pidana.
Dari tahun 2020-2022, telah ada 15.811 kasus di tahap penyidikan dan 2.103 kasus di tahap penuntutan yang diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif. Semua perkara tersebut proses pidananya dihentikan dan pelakunya dibebaskan.
Padahal, dengan berkaca dari kasus penganiayaan Mario di atas, setidaknya terdapat dua aspek yang harus diperhatikan.
Di satu sisi, perbuatan Mario dapat dikatakan cukup serius, sehingga harus dibebankan pertanggungjawaban pidana. Di sisi lainnya, korban anak juga mengalami kerugian dan penderitaan yang mendalam, sehingga upaya memulihkan (restorasi) korban melalui forum dialog restoratif atau perdamaian adalah sesuatu yang esensial untuk dilakukan.
Hal ini kembali memunculkan pertanyaan besar: Apakah kebijakan keadilan restoratif di Indonesia memungkinkan adanya upaya memulihkan (restorasi) korban melalui perdamaian bersamaan dengan penjatuhan pidana kepada pelakunya?
Membedah kebijakan keadilan restoratif di Indonesia
Ada dua landasan hukum yang membentuk mekanisme penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif yang berlaku pada tahap pra-adjudikasi (sebelum persidangan).
Landasan tersebut adalah Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol Nomor 8/2021) dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja Nomor 15/2020).
Menurut Pasal 16 ayat 1 dan 2 Perpol Nomor 8/2021, setelah pelaku dan korban sepakat berdamai disertai dengan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban, penyidik dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan (SP3). Penerbitan SP3 ini menandakan penyidik akan menghentikan proses penyelidikan/penyidikan setelah ada perdamaian.
Sementara itu, menurut Pasal 7 dan 10 Perja Nomor 15/2020, penuntut umum berwenang untuk menawarkan upaya perdamaian kepada korban dan tersangka untuk membahas pemulihan dan/atau ganti rugi untuk korban. Jika pihak pelaku dan korban sepakat berdamai, maka Kepala Kejaksaan Tinggi akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Artinya, penuntut umum akan menghentikan proses penuntutan setelah pelaku dan korban berhasil berdamai.
Yang sangat disayangkan adalah kedua aturan tersebut sama-sama memaknai keadilan restoratif sebagai mekanisme penghentian proses pidana pemulihan atau tercapainya ganti rugi untuk korban melalui proses damai.
Dengan kata lain, keadilan restoratif yang diatur dalam dua aturan hukum itu malah menggerus peluang adanya penjatuhan pidana kepada pelaku. Ini juga seolah memberi sinyal bahwa setiap orang tidak perlu menjalankan hukuman pidana selama ia dapat memulihkan atau membayar ganti kerugian kepada korban.
Hal ini sangat mereduksi fungsi hukum pidana yang bertujuan untuk menjaga ketertiban umum bagi semua orang. Sanksi pidana penjara yang salah satunya fungsinya adalah untuk memberikan efek jera dan rasa takut untuk melakukan kejahatan (deterrent effect), menjadi tidak efektif lagi bagi pelaku yang mampu membayar ganti rugi. Pelaku yang memiliki kemampuan secara ekonomi dapat "membayar" agar proses hukumnya dapat dihentikan.
Pada akhirnya, keadilan restoratif yang awalnya lahir dari filosofi pemenuhan ganti kerugian dan pemulihan yang berorientasi pada kepentingan korban bergeser maknanya menjadi "keadilan transaksional" agar pelaku lepas dari jerat pidana.
Keadilan restoratif secara teoritis
Secara teoritis, keadilan restoratif bukanlah mekanisme hukum acara pidana yang bersifat teknis. Ini adalah prinsip, pendekatan, atau paradigma baru hukum pidana dalam memandang kepentingan dan posisi korban.
Menggunakan lensa keadilan restoratif, kejahatan tidak lagi dipandang hanya sebagai pelanggaran terhadap hukum dan negara. Penekanannya diberikan kepada korban selaku pihak yang paling pertama dan utama merasakan dampak dari kejahatan, sehingga pelaku harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang dialami korban akibat perbuatannya.
Dari segi historisnya, keadilan restoratif justru muncul sebagai pelengkap (komplementer) atas sistem peradilan pidana (SPP) konvensional yang luput memperhitungkan kedudukan dan posisi korban.
Melalui keadilan restoratif, SPP konvensional yang dulu hanya mengurusi pertanggungjawaban pidana pelaku, kini juga mengurusi bagaimana pengadilan menempatkan korban dalam posisi sentral proses peradilan. Serta, bagaimana melakukan pemenuhan ganti kerugian dan pemulihan korban.
Keadilan restoratif muncul bukan sebagai pengganti (subtitusi) dari SPP dan bukan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku.
Meluruskan salah kaprah kebijakan keadilan restoratif
Sekali lagi, keadilan restoratif sama sekali tidak ditujukan untuk menghentikan proses pidana atau untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku.
Dengan demikian, segala ketentuan terkait penghentian proses pidana dalam Perpol Nomor 8/2021 dan Perja Nomor 15/2020 sebenarnya tidak relevan dengan pengertian teoritis dan tujuan dari keadilan restoratif itu sendiri.
Sebagai perbandingan, salah satu contoh aturan yang memuat keadilan restoratif yang cukup baik adalah Pasal 235 ayat (1) dan (2) dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal tersebut mengatur kewajiban pelaku untuk memberikan ganti rugi bagi korban atau ahli waris korban tanpa menggugurkan tuntutan perkara pidana.
Dengan pengertian keadilan restoratif semata-mata sebagai upaya untuk memulihkan kerugian korban dan tidak menghentikan proses pidana, sudah semestinya pendekatan keadilan restoratif juga dapat diberlakukan pada tindak pidana apapun yang menimbulkan kerugian bagi korban.
Pembatasan tindak pidana yang dapat atau tidak dapat dilakukan pemulihan melalui proses restoratif justru menjadi kontra-produktif karena hanya akan membatasi ruang pemulihan korban.
Misalnya, pembatasan penerapan keadilan restoratif terhadap perkara-perkara seperti tindak pidana terorisme, korupsi, tindak pidana terhadap nyawa orang, tindak pidana ketertiban umum, tindak pidana lingkungan hidup, dan lain-lain justru hanya akan semakin mengurangi ruang pemulihan bagi korban.
Padahal, pendekatan keadilan restoratif seharusnya lebih diutamakan pada kejahatan-kejahatan serius. Sebab, semakin tinggi tingkat keseriusan suatu tindak pidana, maka kemungkinan adanya dampak serius bagi korban juga semakin besar.
Selain itu, keadilan restoratif juga harus selalu dapat diterapkan pada semua tahapan sistem peradilan pidana - mulai dari tahapan pra-adjudikasi, adjudikasi, bahkan purna-adjudikasi - mengingat setiap tahapan peradilan harus selalu membuka kesempatan bagi korban untuk dipulihkan.
Sebagai contoh, pendekatan keadilan restoratif di Britania Raya dapat diterapkan pada tahap purna-ajudikasi, yaitu setelah vonis putusan hakim, atau ketika pelaku sedang maupun selesai menjalani hukuman.
Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku atas pemulihan kerugian (fisik/materiil atau non-fisik/non-materiil) bagi korban, proses keadilan restoratif pada tahap ini dilakukan dengan tujuan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak. Ini misalnya pemulihan bagi korban, rekonsiliasi, closure (selesainya permasalahan), dan lain sebagainya. Dengan tujuan ini, pelaksanaannya pun dilakukan secara sukarela antara kedua belah pihak.
Kesimpulannya, segala bentuk penghentian proses pidana yang pada akhirnya menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku bukanlah keadilan restoratif.
Kebijakan keadilan restoratif di Indonesia saat ini keliru. Tawaran keadilan restoratif dalam kasus Mario Dandy berupa upaya mendamaikan pelaku dengan korban dipandang sebagai cara untuk menghentikan proses pidana, yang justru bertolak belakang dengan esensi keadilan restoratif itu sendiri. Bahwa tanpa penghormatan terhadap kedudukan dan kepentingan korban, keadilan restoratif justru telah kehilangan maknanya.
Arianda Lastiur Paulina, Asisten Peneliti Indonesia Judicial Research Society, Indonesia Judicial Research Society ; Aisyah Assyifa, Asisten Peneliti Indonesia Judicial Research Society, dan Matheus Nathanael, Peneliti Indonesia Judicial Research Society
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.