Peran masyarakat untuk ikut mencegah praktik korupsi kini diakomodir dengan pemberian hadiah uang. Tapi, perlindungan saksi pelapor juga sangat penting.

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani mengusulkan dibentuknya peraturan bersama antara lembaga penegak hukum, antara Kemenkumham, KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan LPSK yang tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tetapi perlindungan fisik saksi atau pelapor.

Arsul menganggap PP nomor 43 tahun 2018 sebuah respon yang baik karena disinyalir akan mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi Namun demikian, Arsul menyadari PP yang diteken Presiden Jokowi pada 18 September tersebut perlu pengaturan lebih lanjut. Salah satunya yakni tentang perlindungan fisik terhadap diri pelapor atau saksi.

Ia melihat, setiap lembaga semisal, Kemkumham, KPK, Kejaksaan dan LPSK memiliki aturan sendiri-sendiri terkait pengamanan fisik pelapor atau saksi. Ini menunjukkan tidak adanya kesinkronan. Maka dari itu, Arsul berencana akan memanggil lembaga-lembaga tersebut dalam rapat kerja pekan depan agar jangan sampai muncul pemikiran masyarakat yang berani melapor hanya demi pemberian berupa uang dari pemerintah.

"Saya menduga bahwa belum adanya aturan, terkait pengamanan fisik ini harus beserta terkait pengamanan fisik karena memerlukan sinkronisasi antara pemerintah dengan Kemenkumham, P33 dan LPSK," ujar Arsul Sani di ruang media center DPR, Jl. Selamat, Jakarta (12/10).

Misalnya saja, dalam PP tersebut disebutkan, masyarakat yang memberikan informasi valid kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk piagam dan premi yang besarannya maksimal 200 juta rupiah. Di satu sisi aturan itu sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi namun di sisi lain, keselamatan pelapor terancam.

Pasalnya, Arsul tak melihat ada aturan terkait jaminan perlindungan yang diberikan kepada pelapor. Hal tersebut mengacu pada adanya ketentuan bagi masyarakat yang ingin melapor harus menyerahkan identitasnya kepada pihak-pihak terkait. "Jangan hanya karena pemberian hadiah 200 juta bagi pelapor tetapi setelah itu hidupnya menjadi penuh ancaman," tegasnya.

Bergantung Aparat

Menanggapi itu, Pengamat Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar berpendapat, efektivitas PP 43/2018 tersebut bergantung kepada aparat penegak hukum dan budaya hukumnya. Ia mengatakan, sejauh mana aparat dan masyarakat sudah memiliki gambaran bagaimana merespon PP tersebut dalam pemberantasan korupsi dengan benar, sehingga ketika ada masyarakat melapor tindak pidana korupsi tidak ada tujuan tertentu atau ditunggangi oknum tertentu.

Apalagi yang dimaksud dengan premi 200 juta ripiah terhadap masyarakat yang memberikan informasi valid kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi baru bisa diterima sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), eksekusi hingga keuntungan dari kerugian negara tersebut disetor ke negara terlebih dahulu.

Ia juga tidak sependapat dengan pendapat Ketua KPK, Agus Rahardjo yang meminta premi dalam PP tersebut dimasukkan ke dalam putusan pengadilan. Sebab premi dalam putusan pengadilan adalah wewenang yang dimiliki eksekutif dalam hal ini pemerintah."Beda kewenangan bila premi dimasukkan dalam putusan pengadilan," tegasnya.

rag/tri/AR-3

Baca Juga: