Pengesahan tingkat I RUU TPKS patut diapresiasi. Sebab banyak rumusan yang memberi penguatan pada korban dan hukum acara.

JAKARTA- Secara substansi, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dinilai cukup maju. Banyak penguatan pada aspek hukum acara. Ada juga penguatan hak korban dan keteraturan pengaturan tindak pidana. Demikian dikatakan Peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (Puskapa), Clara Siagian, di Jakarta, Kamis (7/4).

Namun, dia memberi catatan. Salah satunya, tentang sinkronisasi dengan revisi UU ITE. Menurutnya harus ada jaminan sinkronisasi dengan revisi UU ITE. "Secara progresif pemerintah dan DPR juga memasukkan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam Pasal 14 RUU TPKS. Isinya melarang perekaman, transmisi dan penguntitan orang lain atau konten pribadi orang lain tanpa persetujuan," katanya.

Dengan demikian, kata dia, rezim pengaturan tentang penyebaran konten pribadi harus didasarkan pada persetujuan. Ketika dilakukan dengan tidak berdasar persetujuan, maka orang tersebut dinyatakan sebagai korban, bukan pelaku.

Maka, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berorientasi pada konten, bukan konsen harus dihapuskan dalam revisi UU ITE. Sedangkan untuk pelarangan penyebaran konten kesusilaan yang dikehendaki sudah dijangkau UU Pornografi. "Maka, tidak ada lagi kepentingan mempertahankan Pasal 27 ayat (1) UU ITE," katanya.

Catatan lainnya, kata Clara, soal jaminan implementasi pemberian layanan kepada semua korban secara inklusif. Ini terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, agama, gender dan identitas sosial lainnya. Dalam Pasal 1 angka 4 RUU TPKS disebutkan bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi atau sosial akibat tindak pidana kekerasan seksual.

"Dalam RUU ini juga diperkenalkan pelayanan terpadu berupa penyelenggaraan layanan terintegrasi, multiaspek, lintas fungsi dan sektor bagi korban. Juga keluarga korban atau saksi tindak pidana kekerasan seksual," ujarnya.

Clara menambahkan, karena korban tidak selalu perempuan atau anak, maka Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) harus dapat juga memperluas jangkauan penerima layanan bagi korban kekerasan seksual. Ini baik untuk perempuan, anak, atau laki-laki.

Hal ini termasuk kelompok minoritas gender atau kelompok lainnya tanpa diskriminasi. Harus dipastikan ketika nantinya UPTD PPA memberikan layanan kepada korban, selain perempuan dan anak, tidak akan "dianggap" melanggar proses.

"Implementasi layanan dalam UPTD PPA juga tidak kemudian menghilangkan peran unit layanan lain yang sudah tersedia dan berkembang. Ini di tingkatan pemerintahan daerah sesuai dengan kewenangan mereka," ujarnya.

Apresiasi

Menurutnya, pengesahan tingkat I RUU TPKS patut diapresiasi. Sebab banyak rumusan yang memberi penguatan pada korban dan hukum acara. Maka, dengan adanya RUU TPKS, pekerjaan rumah bagi aturan lainnya, serta penguatan sumber daya dan kapasitas institusi, harus juga diperhatikan.

Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS DPR, Rabu (6/4) telah menyelesaikan pembahasan tingkat I RUU TPKS. Delapan dari sembilan fraksi DPR menyetujui RUU TPKS. Dengan demikian RUU TPKS menyisakan pembahasan tingkat II dalam sidang paripurna yang akan secara resmi mengesahkannya.

Ketua DPR, Puan Maharani, menjanjikan segera mengesahkan RUU tersebut. "Selangkah lagi, buah perjuangan panjang ini akan terealisasi," kata Puan. Kemudian, anggota Baleg, Luluk Nur Hamidah, juga mengapresiasi pengesahan RUU TPKS tingkat satu tersebut. Dia menyebutkan berbagai pihak turut mendorong RUU TPKS segera disahkan.

"Ini perjuangan lahir batin sejak lama dan melibatkan banyak stakeholder seperti para pemerhati, akademisi, profesional, serta lembaga kemasyarakatan. Semua menginginkan kita punya undang-undang tindak pidana kekerasan seksual," kata Luluk.

Baca Juga: