RUU Pengawasan Obat dan Makanan penting untuk mengatur peredaran dan pengawasan obat serta makanan. RUU ini penting seiring dengan terjadinya kasus gagal ginjal akut pada balita.

JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI, Saniatul Lativa, mengatakan Rancangan Undang-undang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) penting mengatur peredaran obat dan makanan. Belum adanya aturan tersebut membuat Badan Pengawas obat dan Makanan (BPOM) terbatas dalam menyelidiki beberapa kasus peredaran obat ilegal.

"Tanpa adanya RUU ini akan merugikan masyarakat awam," ujar Saniatul dalam keterangan resminya, Selasa (8/11).

Dia menerangkan, setidaknya ada tiga hal yang dapat disoroti terkait belum adanya aturan tersebut. Pertama adalah banyaknya masyarakat yang memperjualbelikan obat tanpa memenuhi aturan yang sudah ditentukan oleh BPOM.

Kedua, belum adanya aturan tersebut dapat merugikan masyarakat awam yang dengan mudah percaya akan sesuatu produk obat. Di sisi lain jual beli melalui online marak terjadi. "Apalagi pada pandemi Covid-19 kemarin belum ada obat tetapi banyak penjual online yang mengatakan bahwa ini adalah obat Covid. Padahal pada saat itu belum ada obat Covid yang dikeluarkan," katanya.

Ketiga, dapat mencegah peredaran obat secara ilegal, baik langsung maupun secara online yang luput dari pengawasan BPOM. Selain itu, RUU tersebut juga dirasa dapat mendorong terciptanya produk dalam negeri yang berkualitas.

"Untuk menciptakan produk dalam negeri yang berkualitas, membutuhkan suatu landasan hukum agar dapat mengurangi peredaran obat secara ilegal di masyarakat dan juga memberikan efek jera bagi peredaran obat ilegal," tandasnya.

Anggota Baleg DPR RI, Darori Wonodipuro, menilai, selama ini belum ada pengawasan terhadap obat dan makanan yang benar-benar dilakukan di Indonesia. Peredaran obat utamanya terlalu bebas, bahkan pengawasannya terkesan sangat terbatas.

Menurutnya, RUU tersebut memperkuat dan memperjelas kewenangan pihak-pihak terkait. Salah satunya yaitu pembentukan tim penyidik oleh BPOM. "Walaupun korwasnya ada di polisi, jangan semua diserahkan kepada polisi, polisi tanggung jawabnya sudah cukup banyak," terangnya.

Seperti diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar Rapat Harmonisasi RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) yang dinilai urgen dengan merebaknya kasus gagal ginjal akut di Indonesia belakangan ini.

""Isu ini menjadi penting karena beberapa kejadian terakhir menjadi isu yang sangat urgen, karena terkait kasus gagal ginjal akut yang terkait dengan beberapa obat," kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas.

Andi mengingatkan agar harmonisasi RUU POM tersebut dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).

Sementara itu, Kepala BPOM, Penny K. Lukito menerangkan, pihaknya menetapkan sanksi administratif kepada tiga industri yaitu PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma atas termuan cemaran Etilen Glikol (EG) di atas ambang batas aman. Pihaknya mencabut sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk sediaan cairan oral non-betalaktam dan izin edar sirup obat yang diproduksi ketiga industri farmasi tersebut. "Adapun jumlahnya sebanyak 69 produk," tambahnya.

BPOM meminta ketiga industri farmasi tersebut untuk menghentikan kegiatan produksi sirup obat dan mengembalikan surat persetujuan Izin Edar semua sirop obat. Ketiganya juga harus menarik dan memastikan semua sirop obat telah dilakukan penarikan dari peredaran.

Baca Juga: