JAKARTA - Pemerintah berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akan mengurai masih kompleksnya masalah ketenagakerjaan di Tanah Air mulai dari daya saing rendah, meningkatnya angkatan kerja yang membutuhkan lapangan kerja baru, hingga obesitas dalam regulasi.

Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (2/10), mengatakan jika sudah disahkan regulasi tersebut diharapkan memberikan kepastian dan kecepatan perizinan investasi serta kepastian hukum.

"Pemerintah menargetkan keberadaan RUU Cipta Kerja bisa menjadi jalan bagi perbaikan drastis struktur ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19 sehingga bisa meraup angka pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,7 persen hingga 6 persen," kata Susiwijono.

Hal itu melalui penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 juta hingga tiga juta per tahun atau meningkat dari saat ini dua juta per tahun. Penciptaan lapangan kerja itu diharapkan menampung 9,29 juta orang yang belum bekerja, yang terdiri dari 7,05 juta pengangguran dan 2,24 juta angkatan kerja baru.

Selain itu juga diharapkan meningkatkan kompetensi pencari kerja, kesejahteraan pekerja, serta peningkatan produktivitas yang akan mendongkrak investasi dan pertumbuhan ekonomi. Saat ini, produktivitas pekerja di Indonesia mencapai 74,4 persen, berada di bawah rata-rata negara Asean 78,2 persen.

Lebih lanjut dikatakan, investasi diharapkan tumbuh di kisaran 6,6-7 persen untuk membangun usaha baru yang akan menciptakan lapangan kerja baru.

"RUU Cipta Kerja juga diharapkan memberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi sehingga kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing menjadi 65 persen dan 5,5 persen," kata Susiwijono.

Tanpa pembenahan mendasar struktur ekonomi nasional, katanya, ekonomi Indonesia di masa mendatang terancam beberapa risiko, antara lain lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif dan daya saing pencari kerja relatif rendah sehingga pengangguran semakin tinggi dan Indonesia terjebak dalam negara berpendapatan menengah.

Secara umum, biaya investasi di Indonesia terbilang mahal dan kurang kompetitif berdasarkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau perbandingan tambahan investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan setiap satu unit hasil.

"ICOR Indonesia pada 2019 sebesar 6,77 persen, lebih buruk dari 2018 pada posisi 6,44 persen, tapi di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam punya ICOR di posisi ideal yakni tiga persen," katanya.

Selain ICOR, regulasi Indonesia juga terbilang rumit sehingga menjadi penghambat investasi. Hal ini terjadi baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Dua hal tersebut menjadi penghambat investasi yang bersifat padat modal. Sedangkan investasi yang bersifat padat karya, lebih terkendala lagi oleh masalah ketenagakerjaan.

Jaga Keseimbangan

Pakar Ekonomi dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, menegaskan bahwa penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7-3 juta per tahun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sulit tercapai bila regulasi itu tidak mengakomodasi semua stakeholders yang terlibat di dalamnya.

"RUU Cipta Kerja harus menjaga keseimbangan antara kepentingan pengusaha, buruh, dan pemerintah karena labour dan kapital merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi," kata Esther. n ers/E-9

Baca Juga: