JAKARTA - Nilai tukar rupiah berpeluang kembali melemah, hari ini (2/11) karena dipengaruhi sentimen eksternal. Potensi kenaikan imbal hasil oblogasi pemerintah Amerika Serikat (AS) bertenor 10 tahun bakal menekan pergerakan rupiah.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menilai membaiknya kinerja perekonomian AS ibandingkan negara-negara besar lainnya dalam beberapa bulan terakhir memberikan dorongan terhadap dollar dan imbal hasil US Treasury.

Karenanya, Sutopo memproyeksikan tekanan rupiah masih berlanjut sehingga membuat kursnya dalam perdagangan di pasar uang antarbank, Kamis (2/11), bergerak melemah ke kisaran 15.930-15.980 rupiah per dollar AS.

Sebelumnya, nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank pada penutupan perdagangan, Rabu (1/11), melemah sebesar 51 poin atau 0,32 persen dari sehari sebelumnya menjadi 15.936 rupiah per dollar AS.

Senior Economist PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto menyatakan pelemahan rupiah dipengaruhi sikap pasar yang menunggu sinyal dari keputusan dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bank sentral AS.

"FOMC masih membuka kemungkinan kenaikan suku bunga di masa mendatang," katanya di Jakarta, kemarin.

Dalam pertemuan FOMC, The Fed diprediksi bakal mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,5 persen dengan menjadikan pengendalian inflasi dan penguatan kondisi ketenagakerjaan menjadi topik pembicaraan Inflasi masih menjadi fokus karena melenceng jauh dari target 2 persen, dan para pejabat AS bakal mempertanyakan apakah kebijakan saat ini masih cukup mendorong inflasi turun atau perlu kebijakan baru.

"Kemungkinan kenaikan suku bunga karena inflasi AS masih jauh di atas target. Selain itu, mereka juga masih menjaga agar pasar tidak terlalu cepat bereaksi bila mereka memberi sinyal dovish," ucap Rully.

Di sisi lain, pasar juga menunggu data inflasi Indonesia yang bakal diumumkan hari ini dengan perkiraan adanya kenaikan laju inflasi Indonesia baik secara year on year (YoY) maupun month to month (MoM). YoY diprediksi meningkat dari 2,28 persen menjadi 2,6 persen.

Baca Juga: