Para pemangku kepentingan di sektor properti di Indonesia harus siap menghadapi kemungkinan dampak negatif dari kasus runtuhnya Evergrande.

JAKARTA - Informasi mengenai penghentian perdagangan saham Evergrande, kerugian yang mencapai miliaran dollar AS, serta upaya restrukturisasi utang yang berlarut-larut telah menciptakan kekhawatiran di seluruh dunia. Runtuhnya Evergrande harus jadi pelajaran bagi sektor properti di Indonesia.

Pemerintah dan para pengusaha properti di Tanah Air harus berhati-hati sebab meskipun perusahaan ini berbasis di Tiongkok, dampaknya telah menciptakan gelombang kekhawatiran di sektor properti di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

"Runtuhnya Evergrande harus menjadi pelajaran berharga bagi pelaku sektor properti di Tanah Air. Sebab Evergrande adalah contoh nyata tentang risiko yang mungkin terjadi ketika perusahaan properti terlalu mengandalkan pembiayaan utang untuk ekspansi bisnis mereka," kata ekonom dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko kepada Koran Jakarta, Kamis (28/9).

Aditya mengatakan Evergrande mengambil utang dalam jumlah besar untuk mendanai proyek-proyeknya, dan ketika mereka mengalami kesulitan dalam membayar kembali utang-utang ini, maka krisis finansial tak terhindarkan.

Menurut Aditya, di Indonesia, banyak perusahaan properti juga mengandalkan pembiayaan utang dan mereka perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam situasi yang serupa.

Dampak dari krisis Evergrande, menurut Aditya, dapat meluas ke pasar global, termasuk pasar properti di Indonesia. Penurunan harga properti di Tiongkok dapat mempengaruhi harga properti di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Oleh karena itu, para pemangku kepentingan di sektor properti di Indonesia harus siap menghadapi kemungkinan dampak negatif dan mengambil langkah-langkah untuk mengamankan investasi mereka.

"Kita harus belajar dari kesalahan Evergrande dan tidak terlalu gegabah dalam memperluas bisnis properti. Portofolio kredit perbankan jangan sampai jor-joran untuk menopang kredit properti yang memang cenderung spekulatif ini," kata Aditya.

Masih Sangat Timpang

Pasar properti di Indonesia, menurut Aditya, masih sangat timpang di mana backlog untuk kalangan bawah tidak pernah berkurang tapi supply kredit untuk properti mewah dan mal terus membesar.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira mengatakan Evergrande menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar pemerintah waspada terhadap sektor properti ini.

Bhima menjelaskan sebelum pandemi, banyak pembiayaan di sektor properti memanfaatkan era bunga rendah. Saat itu perburuan bunga murah menyebabkan developer cukup agresif, tetapi pada saat pandemi, tekanan risiko pada debitur KPR juga berdampak pada penilaian risiko properti.

Beberapa properti bahkan mengalami stagnasi harga di banyak daerah karena sebelumnya terjadi spekulasi properti, sementara dari sisi daya beli tidak mampu menjangkau harga rumah yang terlalu mahal.

Perlu dicatat sektor properti di Indonesia berdampak setidaknya pada 185 subsektor industri.

"Jadi harus dijaga kualitas kredit dari sektor properti baik kredit konstruksi untuk developer dan KPR. Bank perlu lebih hati-hati untuk memilih developer," tegas Bhima.

Apa yang disampaikan Aditya dan Bhima ini merespons Bloomberg News yang baru-baru ini melaporkan Bursa Hong Kong pada Kamis (28/9), menangguhkan saham Evergrande, setelah pimpinan pengembang real estate Tiongkok itu dilaporkan telah ditempatkan di bawah pengawasan.

Saham Evergrande pada Rabu ditutup pada 32 sen Hong Kong. Ini bukan kali pertama saham Evergrande disuspensi. Perdagangan dihentikan pada Maret tahun lalu dan baru melanjutkan perdagangan pada 28 Agustus, setelah jeda selama 17 bulan.

Pada Juli, perusahaan membukukan kerugian bersih gabungan sebesar 81 miliar dollar AS untuk tahun 2021 dan 2022, dalam laporan pendapatannya yang telah lama tertunda. Bandingkan dengan laba bersih sebesar 8,1 miliar yuan pada tahun 2020, sebelum perusahaan tersebut mengalami gagal bayar.

Baru bulan ini, Evergrande menunda pertemuan restrukturisasi utang dengan para kreditor, dengan mengatakan dalam pengajuannya "penjualan Grup belum seperti yang diharapkan oleh perusahaan" sejak pengumuman restrukturisasi utang pada bulan Maret.

Baca Juga: