Besarnya belanja konsumtif dalam rencana anggaran tahun depan dikhawatirkan tak memberikan daya gedor bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

JAKARTA - Pemerintah melemparkan wacana memangkas subsidi energi tahun depan guna menjaga stabilitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Namun, rencana tersebut diyakini bakal mengerek inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menyoroti kondisi fiskal tahun depan yang makin sempit, apalagi dengan adanya program makan siang gratis yang menelan biaya sekitar 460 triliun rupiah. Meskipun Presiden terpilih mengubahnya menjadi program makan bergizi gratis, namun tetap saja banyak anggaran yang tersedot untuk program ini.

"Yang pasti inflasi siap tak terhindarkan. Semestinya pemerintah mendorong efisiensi, fokus kerjakan program-program prioritas," tegas Esther, di Jakarta, Selasa (4/6), merespons potensi pemangkasan subsidi energi pada 2025.

Esther berharap pemerintah ke depan lebih efisien dan fokus memastikan terpenuhinya permintaan masyarakat melalui ketersediaan barang di pasar, lalu mendorong kelancaran distribusi.

"Pemerintah harus fokus kendalikan harga barang penyebab inflasi seperti bahan bakar minyak (BBM), harga beras, minyak goreng, dan harga bahan pangan lainnya," tandas Esther.

Secara terpisah, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menyebut wacana pemerintah yang akan memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada 2025 masih perlu pertimbangan.

"Soal harga BBM tiga aspek harus kita perhatikan. Pertama, adalah kemampuan atau daya beli masyarakat. Kedua, adalah kemampuan keuangan negara, dan ketiga, jangan salah, kemampuan juga BUMN yang mendapat penugasan," ungkapnya.

Meskipun demikian, kondisi membengkaknya subsidi energi imbas naiknya harga minyak mentah dunia dan ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, tak serta merta membuat pemerintah langsung mengambil kebijakan tak populis, seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio adalah sebesar 0,388. Angka ini meningkat 0,007 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,381 dan meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384.

"Jika harus menaikkan harga BBM maka konsekuensinya adalah terjadinya kenaikan inflasi. Selanjutnya berkonsekuensi dengan kemiskinan yang akan naik," ungkap Sugeng.

APBN Transisi

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap pandangan Fraksi terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN Tahun Anggaran 2025. Menkeu menyebutkan APBN 2025 adalah APBN transisi untuk dilaksanakan oleh pemerintah baru.

"Mengingat APBN 2025 adalah APBN transisi untuk dilaksanakan oleh pemerintah yang akan datang, KEM PPKF 2025 juga dirancang agar tetap dapat menjaga kesinambungan agenda pembangunan nasional, terutama dalam rangka mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045," ujar Menkeu dalam Rapat Paripurna DPR RI yang diselenggarakan, Selasa (4/6) di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.

Pada kesempatan tersebut, Menkeu menyampaikan APBN 2025 akan menjadi fondasi yang kuat untuk menopang agenda pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Pemerintah menargetkan pertumbuhan PDB secara agregat pada 2025 berada di level 5,1 persen - 5,5 persen.

Baca Juga: