» Debitur yang belum selesaikan kewajibannya akan dibatasi akses keuangan dan keimigrasiannya.
» Pemerintah jangan terusmenerus memanjakan debitur nakal dengan alasan pertimbangan sosial dan ekonomi.
JAKARTA - Untuk memaksimalkan penagihan utang dan mengembalikan hak negara, pemerintah melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) pada 31 Agustus 2022 menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara.
Direktur Perumusan Kebijakan Kekayaan Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu, Encep Sudarwan, di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan jumlah Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) aktif yang saat ini ditangani oleh PUPN sebanyak 45.524 tagihan dengan total nilai outstanding mencapai 170,23 triliun rupiah.
Dari total nilai outstanding 170,23 triliun rupiah itu sebagian besar berasal dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yaitu sekitar 110 triliun rupiah.
Penerbitan PP 28 Tahun 2022, papar Encep, diharapkan mampu membatasi ruang gerak debitur dan mempercepat sekaligus mengakselerasi pengurusan piutang negara. "PP 28 Tahun 2022 hadir untuk memperkuat tugas dan wewenang PUPN dalam pengurusan piutang negara," jelas Encep.
Salah satu materi muatan dalam PP adalah mengatur upaya-upaya pembatasan keperdataan dan/atau penghentian layanan publik kepada debitur.
Debitur yang belum menyelesaikan utang, jelasnya, akan dibatasi akses keuangannya hingga tidak boleh mendapatkan kredit atau pembiayaan dari Lembaga Jasa Keuangan (LJK).
Debitur juga akan dibatasi layanan keimigrasian seperti penerbitan paspor dan visa maupun terhadap layanan bea cukai dan PNBP serta perolehan surat keterangan fiskal.
Mereka juga dilarang mengikuti lelang dan pengadaan serta mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bahkan hingga pembatasan pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM) maupun tindakan keperdataan/layanan publik lainnya.
Pengaturan upaya-upaya tersebut diharapkan dapat menjadi alat pemaksa bagi debitur agar melaksanakan kewajibannya membayar piutang negara.
PP tersebut juga mengatur tentang kewajiban bagi kementerian, lembaga, badan, dan pemerintah daerah untuk memberikan dukungan baik berupa data atau informasi yang diminta PUPN, termasuk untuk melakukan pembatasan keperdataan dan/atau penghentian layanan publik.
Tindak Tegas
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, yang diminta tanggapannya mengatakan peraturan tersebut diharapkan bisa mengoptimalkan penagihan piutang negara terhadap para debitur nakal BLBI.
"Penambahan kewenangan Satgas BLBI diharapkan bisa menjadi momentum memenuhi harapan masyarakat, yaitu menindak tegas para debitur BLBI," kata Badiul.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, menambahkan, pembatasan ruang gerak debitur BLBI perlu didukung penuh, bahkan aturan teknis diharapkan mengatur lebih detail, misalnya tidak bisa mengurus izin usaha baru atau perpanjangan izin usaha, hingga diputus aliran listrik ke perusahaan atau pabrik.
"Kalau sampai layanan perizinan ditolak oleh pemerintah, tentu para pelaku usaha yang bermasalah akan sulit mengembangkan bisnis. Para debitur BLBI harus dibuat tidak nyaman dalam melakukan bisnis sehingga cepat membayar utangnya ke negara," kata Bhima.
Dihubungi terpisah, Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan meskipun terlambat, tapi kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu upaya pemerintah memaksimalkan penagihan ke para debitur BLBI.
"Regulasi ini telat, tetapi tetap menjadi langkah maju untuk mendisiplinkan para debitur ke depannya. Debitur selama ini belum punya iktikad baik untuk mengembalikan uang negara yang selama ini mereka nikmati dan kembangkan," katanya.
Regulasi tersebut, tambah Surokim, harus dibarengi dengan fungsi pengawasan yang serius agar tidak menjadi "macan ompong" dan para debitur bisa disiplin menunjukkan daya tanggung jawabnya terkait kewajibannya kepada negara.
"Negara tidak boleh terlalu memanjakan para debitur, dan hadirnya regulasi ini tentu menjadi momentum yang tepat untuk menagih dan menguatkan tanggung jawab mereka terhadap kewajibannya selama ini," pungkasnya.