Penambahan utang pada semester kedua tahun ini bisa berimbas pada penyempitan ruang fiskal pada 2020 sehingga dikhawatirkan mengganggu realisasi program pembangunan pemerintah.

YOGYAKARTA - Penambahan utang pada semester kedua tahun ini dikhawatirkan bisa memengaruhi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Ruang fiskal anggaran tahun depan diperkirakan kian menyempt karena pembayaran cicilan pokok dan bunga terus naik. "Bahkan pada 2020 ada utang jatuh tempo 237 triliun rupiah yang harus dibayar pemerintah.

Ruang fiskal makin sempit bisa membuat program-program utama Pak Jokowi tertunda," kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, kepada Koran Jakarta, Selasa (23/7). Dengan sempitnya ruang fiskal, Bhima memperkirakan subsidi energi akan menjadi sasaran pertama pemotongan anggaran.

Dia memperkirakan paling lambat pada 2020, akan terjadi kenaikan harga BBM dan listrik bersubsidi. "Rakyat kecil yang pertama akan jadi korban," tukas Bhima. Seperti diketahui, Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar) DPR RI merestui pemerintah menambah utang dalam APBN 2019. D

engan pemerian lampu hijau itu, utang akan membengkak sekitar 14,65 triliun rupiah atau 4,07 persen dari pagu sebesar 359,25 triliun rupiah menjadi 373,9 triliun rupiah. Persetujuan tersebut dimaksudkan untuk mendukung belanja negara dan menjaga defisit anggaran dan keseimbangan primer.

Defisit anggaran tahun ini diperkirakan membengkak mencapai 1,93 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dari ketentuan di APBN 2019 sebedsar 1,84 persen terhadap PDB. Selain itu, penambahan utang juga ditujukan untuk menjaga keseimbangan primer yang diperkirakan meningkat. Realisasi keseimbangan primer pada 2019 diprediksi mencapai defisit 34,7 triliun rupiah, di atas target awal sebesar negatif 20,1 triliun rupiah.

Perpajakan Seret

Direktur Indef, Ahmad Tauhid, menilai penambahan utang makin agresif tersebut disebabkan kegagalan pemerintah memperluas dan memperdalam basis pajak. Dia menambahkan penerimaan perpajakan pada semester I-2019 hanya tumbuh 5,4 persen, lebih lambat ketimbang pertumbuhan periode sama pada 2018 sebesar 14,3 persen.

Menurut Tauhid, dampak dari pelebaran defisit anggaran, pemerintah juga akan melakukan penghematan anggaran secara gradual sehingga diproyeksikan belanja negara 95,1 persen. Langkah itu sebagai upaya menyeimbangkan neraca anggaran. Namun, dia memperingatkan pengetatan anggaran itu akan berdampak pada penurunan peran konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang saat ini kehilangan daya pacunya.

"Perekonomian akan tetap tetap tumbuh, tapi hanya paling tinggi 5,1 persen pada 2019. Salah satunya memang karena permintaan dari Tiongkok cenderung stagnan sehingga ekspor kita diperkirakan hanya sebesar 19-20 miliar dollar AS pada 2019," kata Tauhid.

YK/E-10

Baca Juga: