Muhamad Saleh, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian artikel bertopik "#SayonaraPLTU".

Tahun lalu, negara-negara maju sepakat membantu Indonesia mempercepat pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan menggenjot penggunaan energi terbarukan. Bantuan ini mereka sepakati dalam skema Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP).

JETP krusial karena, jika terlaksana, Indonesia dapat mempercepat rencananya untuk mencapai kondisi emisi bersih sektor ketenagalistrikan pada 2040. Udara di sekitar kita juga bakal lebih bersih karena polusi dari pembakaran batu bara berkurang.

Sayangnya, skema yang baik ini tidak dibarengi dengan keterlibatan yang bermakna oleh pemerintah daerah.

Riset kami di tiga provinsi dan tiga kabupaten menunjukkan pemerintah daerah belum tahu dan tidak dilibatkan dalam kebijakan transisi energi JETP. Padahal, enam daerah tersebut adalah tuan rumah beberapa PLTU sehingga kebijakan pensiun dini dapat berdampak langsung terhadap mereka.

Kami menganggap keterlibatan pemerintah daerah sangat penting agar mereka bisa lebih cepat merancang berbagai program transisi yang adil bagi masyarakat. Program ini misalnya terkait ketenagakerjaan dan pemberdayaan masyarakat terdampak penutupan PLTU.

Daerah tak diacuhkan?

Kami melakukan eksplorasi dengan berbagai metode yaitu survei, observasi, wawancara, dan penggalian data serta regulasi daerah, di tingkat provinsi (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra Utara) dan juga di tingkat kabupaten (Cilacap, Probolinggo, dan Langkat).

Daerah tersebut kami pilih karena memiliki PLTU yang masuk dalam rencana pensiun dini oleh PLN.

Pemerintah Jawa Tengah dan salah satu kabupatennya Cilacap merupakan tuan ruam dari PLTU yang Karangkandri berkapasitas total 2.260 megawatt (MW).

Objek lainnya adalah pemerintah Provinsi Jawa Timur dan salah satu kabupatennya Probolinggo yang menjadi tempat PLTU Paiton berkapasitas 4.600 MW-salah satu yang terbesar di Indonesia.

Kami juga meneliti pemerintah Sumatra Utara dan pemerintah di salah satu kabupatennya Langkat sebagai otoritas lokasi PLTU Pangkalan Susu 820 MW.

Ketiga PLTU ini memiliki unit pembangkit dengan efisiensi pembakaran batu bara yang cukup rendah (kerap disebut teknologi subcritical) sehingga sangat layak dipensiunkan.

Hasilnya, selain tidak mengetahui kebijakan JETP, enam pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten juga menyatakan, regulasi transisi energi saat ini belum memberi jaminan perlindungan materiil kepada masyarakat pasca penutupan PLTU.

Temuan ini cukup disayangkan. Sebab, meski tidak signifikan, keberadaan PLTU berkontribusi terhadap penyerapan kerja dan tumbuhnya usaha kecil di sekitarnya.

Pembangkit tersebut juga turut menambah kas pemerintah Cilacap, Probolinggo, dan Langkat meskipun jumlahnya tak seberapa. Porsinya tak mencapai 10% dari total pendapatan asli daerah (PAD).

Energi bersih dan solusi palsu

Selain tentang pengakhiran PLTU, riset kami juga menemukan keenam pemerintah daerah di atas belum mengetahui keberadaan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2023. Selain sebagai regulasi terkait JETP, aturan ini juga terbit untuk menjadi basis hukum aksi pemerintah daerah mengelola energi baru terbarukan.

Karena ketidaktahuan mereka, hingga kini, pemerintah daerah akhirnya tidak memiliki aturan pelaksanaan pengelolaan energi bersih di lapangan. Sebagian dari mereka bahkan merasa Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2023 belum memenuhi kebutuhan energi daerah untuk beralih ke energi ramah lingkungan.

Absennya peran pemerintah daerah pada akhirnya akan membatasi terobosan kebijakan, inovasi, dan teknologi untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan. Sebagai catatan, kami mendorong pembiayaan ini hanya fokus pada energi terbarukan saja, bukan energi baru yang sejauh ini digunakan pemerintah untuk memasukkan produk turunan batu bara (seperti gas batu bara ataupun atau batu bara tercairkan) sebagai salah satu solusi transisi energi.

Keterlibatan pemerintah daerah dalam mengawal percepatan transisi energi di Indonesia juga sangat penting untuk menghindari solusi palsu transisi energi. Maksudnya, solusi tersebut hanya untuk memperpanjang penggunaan energi fosil termasuk PLTU batu bara.

Beberapa jenis solusi palsu misalnya: energi gas batu bara; penggunaan bahan bakar pendamping batu bara (co-firing) yang berisiko meningkatkan deforestasi dan memperpanjang usia PLTU; ataupun nuklir yang memiliki risiko sosial dan lingkungan tinggi.

Minimnya partisipasi terkait JETP ini juga sejalan dengan survei kami pada Juli 2023 yang menemukan bahwa 76% masyarakat tidak mengetahui JETP.

Tiga aspek keadilan

Program pensiun PLTU akan terjadi bersamaan dengan proses masuknya energi terbarukan. Studi International Energy Agency (IEA) menjelaskan, transisi energi akan menciptakan 14 juta lapangan pekerjaan hijau di Indonesia pada tahun 2030.

Pemerintah pusat harus mengevaluasi besar-besaran skema transisi energi nasional agar melibatkan pemerintah daerah secara bermakna. Otoritas daerah perlu ikut merencanakan, menetapkan anggaran, dan melaksanakan program transisi energi agar kepentingan daerah dan penghidupan masyarakat setempat tidak terabaikan.

Keterlibatan ini penting agar pemerintah daerah berkesempatan merumuskan program transisi energi yang adil bagi penduduk setempat.

Pemerintah pusat setidaknya bisa melibatkan daerah dalam perancangan tiga hal yaitu akses, partisipasi, dan peluang.

Dalam hal akses, pemerintah harus memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, layanan masyarakat, dan infrastruktur. Kebutuhan ini penting untuk memudahkan pemerintah daerah dan masyarakat terutama kelompok rentan seperti (karyawan langsung PLTU, pekerja dalam rantai pasok industri terkait, masyarakat sekitar PLTU, dan bisnis lokal) turut serta dalam program transisi energi.

Akses informasi juga penting agar masyarakat setempat mengetahui apa yang sedang direncanakan pemerintah dan berperan dalam pengambilan keputusan. Pasalnya, ketika dirancang tanpa mempertimbangkan akses informasi yang adil, program transisi energi sering kali menambah masalah baru.

Salah satu contohnya, kenaikan pajak karbon Prancis pada bensin, solar, minyak pemanas, dan gas alam memicu protes masyarakat. Kebijakan ini diterapkan pemerintah secara 'pukul rata' dan menyebabkan keluarga miskin menanggung beban lebih berat.

Di Afrika Selatan, serikat industri pertambangan dan logam nasional telah berbaris di ibu kota Pretoria mendesak untuk transisi energi yang adil

Di Indonesia, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Wae Sano, Nusa Tenggara Timur, juga diprotes masyarakat adat. Menurut masyarakat setempat, proyek ini mengancam ruang hidup mereka.

Sementara itu, partisipasi menekankan keterlibatan warga maupun suara kelompok yang kurang terwakili agar tidak ada yang tertinggal dalam usaha menggenjot energi terbarukan. Pembuatan program dan proyek energi terbarukan harus melibatkan berbagai kelompok secara bermakna dengan menggunakan berbagai saluran.

Terakhir adalah aspek peluang yang setara untuk pekerjaan, pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi masyarakat. Pemenuhan tiga aspek ini memungkinkan Indonesia menciptakan peluang bagi jutaan orang untuk mengatasi kemiskinan dan menikmati penghidupan lebih baik.The Conversation

Muhamad Saleh, Peneliti, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: