Zat kimia dari udara berpolusi yang terhirup ternyata bisa masuk ke saluran reproduksi melalui darah. Bisa mengurangi kesuburan dengan mengganggu kerja hormon hingga merusak sel telur dan sperma.

Amy L. Winship, Monash University dan Mark Green, The University of Melbourne

Sekitar 1 dari 6 orang di seluruh dunia mengalami infertilitas alias ketidaksuburan. Sementara, lebih dari separuh populasi dunia tinggal di kawasan perkotaan.

Fakta ini memantik minat sejumlah peneliti untuk mencari tahu apakah kota yang bising dan berpolusi bisa menyebabkan penghuninya mengalami ketidaksuburan, kondisi ketika laki-laki dan perempuan sulit memiliki keturunan meskipun sudah berupaya semaksimal mungkin.

Sebuah studi berskala besar di Denmark menggunakan data nasional untuk meneliti hal ini. Peneliti menemukan bahwa paparan polusi udara dan kebisingan lalu lintas dalam jangka panjang mungkin bisa menyebabkan ketidaksuburan, tetapi pengaruh keduanya berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.

Pengaruh polusi dan kebisingan pada tubuh

Kita tahu bahwa polusi udara yang bersumber dari lalu lintas berdampak negatif pada lingkungan. Polusi udara juga berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dan dikaitkan sebagai penyebab kanker dan penyakit jantung.

Bukan cuma itu, zat kimia dari udara berpolusi yang terhirup ternyata bisa masuk ke saluran reproduksi melalui darah. Zat kimia ini bisa mengurangi kesuburan dengan mengganggu kerja hormon hingga merusak sel telur dan sperma.

Adapun dampak kebisingan lalu lintas terhadap kesehatan belum terlalu jelas, tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa polusi suara ini bisa meningkatkan hormon stres yang berdampak pada kesuburan.

Bagaimana penelitiannya?

Penelitian terbaru pada 2024 ini menggunakan data seluruh penduduk Denmark. Peneliti menggunakan nomor identifikasi unik untuk melacak riwayat hidup peserta, kemudian data mereka digabung ke dalam sebuah basis data nasional.

Data nasional memungkinkan peneliti untuk menyelidiki hubungan antara kesehatan seseorang dengan sejumlah faktor, seperti tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, dan riwayat keluarga. Metode ini disebut "kemitraan data" (data linkage).

Studi ini bertujuan untuk menjaring pasangan yang kemungkinan sedang menjalani program hamil, tetapi berisiko didiagnosis tidak subur.

Lebih dari dua juta peserta penelitian merupakan laki-laki dan perempuan berusia subur. Peserta yang didiagnosis mengalami ketidaksuburan sebelum usia 30 tahun biasanya tinggal sendirian atau terikat hubungan sesama jenis. Peserta penelitian juga termasuk orang dengan informasi yang tidak lengkap, seperti tidak ada alamat.

Peserta kemudian disaring kembali berdasarkan kriteria berikut:

    • berusia 30 - 45 tahun
    • pasangan menikah ataupun hidup bersama
    • maksimal memiliki dua anak
    • tinggal di Denmark antara 1 Januari 2000 hingga 31 Desember 2017

Dari jutaan peserta, hanya 377.850 perempuan dan 526.056 laki-laki yang memenuhi syarat.

Studi ini tidak mensurvei peserta secara langsung. Selama lima tahun, para peneliti hanya memeriksa informasi rinci peserta serta kemungkinan mereka didiagnosis tidak subur. Informasi tersebut diperiksa melalui daftar pasien nasional di Denmark, Danish National Patient Register.

Para peneliti memperkirakan seberapa banyak tempat tinggal yang terpapar kebisingan lalu lintas (diukur dalam desibel). Begitu pula dengan rumah yang tercemar polusi udara atau partikel halus di udara yang disebut PM2,5.

Ini yang ditemukan peneliti

Peneliti menemukan dari 526.056 peserta laki-laki, sebanyak 16.172 orang di antaranya mengalami ketidaksuburan. Selain itu, dari 377.850 peserta perempuan, sebanyak 22.672 orang mengalami ketidaksuburan.

Hasil studi menemukan bahwa laki-laki 24% lebih berisiko mengalami ketidaksuburan ketika terpapar PM2,5 yang kadarnya 1,6 kali lebih besar daripada yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Sementara itu, perempuan berusia di atas 35 tahun berisiko mengalami ketidaksuburan sebesar 14% ketika terpapar kebisingan lalu lintas sebesar 10,2 desibel lebih tinggi dari rata-rata 55-60 desibel.

Baik di perkotaan dan pedesaan, orang-orang dengan latar pendidikan dan pendapatan berapa pun bisa mengalami risiko serupa jika terpapar polusi udara dan suara di atas.

Studi kemudian menyoroti bagaimana fenomena polusi udara dan kebisingan lalu lintas bisa berefek langsung dan menimbulkan dampak jangka panjang yang berbeda pada kemampuan reproduksi laki-laki dan perempuan.

Normalnya, setelah mengalami pubertas, laki-laki selalu memproduksi sperma hingga 300 juta per hari. Namun, paparan polusi udara bisa memengaruhi jumlah dan kualitas sperma. Efek buruk polusi udara pada kesuburan laki-laki bisa muncul lebih cepat daripada perempuan.



Sementara itu, perempuan terlahir dengan 1-2 juta sel telur dan tidak bisa menghasilkan sel telur baru. Sel telur memiliki beberapa "cara dalam mengendalikan kerusakan". Hal ini berguna untuk melindungi diri dari bahaya lingkungan sepanjang hidupnya.

Ini bukan berarti sel telur tidak sensitif terhadap kerusakan. Namun, mungkin saja diperlukan waktu lebih dari lima tahun (durasi penelitian ini) hingga efek paparan polusi udara pada kemampuan reproduksi perempuan bisa terlihat jelas.

Diperlukan penelitian lanjutan

Data linkage bisa menjadi metode yang kuat untuk menyelidiki dampak lingkungan terhadap kesehatan. Cara ini memungkinkan adanya proses penilaian terhadap sejumlah besar orang dalam rentang waktu yang lama, seperti yang dilakukan penelitian di Denmark.

Sayangnya, penelitian jenis ini memiliki keterbatasan. Studinya bergantung pada beberapa asumsi karena tidak mensurvei individu secara langsung dan mempertimbangkan faktor biologis peserta-seperti kadar hormon dan massa tubuh.

Contoh asumsi dalam penelitian ini adalah mengenai apakah pasangan yang didiagnosis mengalami ketidaksuburan benar-benar berusaha untuk memiliki anak.

Peneliti juga memperkirakan orang yang terpapar kebisingan dan polusi udara berdasarkan alamat rumah mereka, dengan asumsi mereka berada di rumah.

Hasil riset mungkin akan lebih akurat jika ada survei yang secara langsung melibatkan individu yang mengalami ketidaksuburan serta memiliki pengalaman terpapar polusi udara dan suara lalu lintas.

Pertanyaan dalam surveinya mungkin perlu mencakup sejumlah faktor yang dapat mengubah respons hormon dan berdampak pada ketidaksuburan, seperti gangguan tidur dan stres. Peneliti juga bisa mempertimbangakn soal paparan bahan kimia yang mengganggu hormon dan lazim ditemui di rumah, digunakan dalam produk rumah tangga dan perawatan pribadi harian.

Penelitian ini terbilang inovatif karena belum pernah ada sebelumnya. Temuannya sangat potensial untuk mengeksplorasi kemungkinan adanya hubungan antara polusi udara dan kebisingan lalu lintas dengan ketidaksuburan.

Meski begiu, diperlukan studi yang lebih terkontrol-dengan melibatkan pengukuran langsung, bukan sekadar perkiraan-ini akan memperdalam pemahaman kita mengenai bagaimana polusi udara dan kebisingan lalu lintas memengaruhi kemampuan reproduksi laki-laki dan perempuan.The Conversation

Amy L. Winship, Group Leader and Senior Research Fellow, Anatomy and Developmental Biology, Monash University dan Mark Green, Associate Professor and Deputy Scientific Director Research at Monash IVF, The University of Melbourne

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: