MANILA - Ribuan demonstran sayap kiri Filipina pada Senin (26/7) berpawai menuju Kongres sewaktu Presiden Rodrigo Duterte hendak bersiap menyampaikan pidato kenegaraan terakhirnya.

Renato Reyes, salah seorang pemimpin aksi unjuk rasa ini, mengatakan, protes itu pada intinya dipicu oleh keinginan Duterte untuk tetap berada dalam kekuasaan.

"Duterte adalah orang yang memaksa rakyat Filipina menggelar protes di masa pandemi. Keinginan Duterte untuk tetap berkuasa selama enam tahun lagi adalah satu-satunya ancaman terbesar bagi negara saat ini," kata Reyes.

Duterte akan mengakhiri masa jabatan enam tahunnya di tengah pandemi yang menyengsarakan, ekonomi yang hancur dan tindakan keras antinarkoba yang memicu pengaduan pembunuhan massal di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Para sekutu dari pemimpin populis berusia 76 tahun itu mendukung seruan partai yang berkuasa agar Duterte, yang mulai menjabat pada pertengahan 2016, mencalonkan diri sebagai wakil presiden ketika masa jabatannya berakhir pada Juni tahun depan. Hal ini mungkin terjadi mengingat putrinya, Sara Duterte-Carpio, yang sekarang menjadi Wali Kota Davao, mencalonkan diri untuk menggantikannya dalam pemilu 9 Mei.

Para anggota parlemen oposisi telah mengancam akan memblokir langkah itu di Mahkamah Agung, dengan alasan itu akan melanggar batas waktu konstitusional. Presiden Filipina dibatasi hanya untuk satu masa jabatan.

Kecam Kekeliruan

Mereka mengecam kekeliruan kebijakan Duterte dalam menanggulangi masalah-masalah utama, termasuk penolakannya untuk dengan gigih menghadapi perilaku agresif Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang disengketakan, mengingat hubungannya yang nyaman dengan Presiden Xi Jinping.

Mereka juga mencerca usaha vaksinasi pemerintah, yang menghadapi penundaan karena masalah pasokan di negara itu dengan jumlah infeksi dan kematian terbesar kedua di Asia Tenggara.

Menjelang pidato Duterte, para aktivis menggantungkan spanduk besar bertuliskan "Selamat tinggal, Duterte" di jembatan penyeberangan di seberang jalan raya menuju Kongres yang dijaga ketat di pinggiran Kota Quezon.

Para pengunjuk rasa kemudian dihadang oleh satuan polisi antihuru-hara.

Duterte dan sejumlah pejabat polisi telah membantah membenarkan pembunuhan di luar proses hukum terhadap para tersangka pengedar narkoba, meskipun Duterte secara terbuka mengancam akan membunuh mereka.

Lebih dari 6.000 orang yang sebagian besar tersangka pengedar kecil narkoba, telah tewas di bawah tindakan kerasnya. Sejumlah besar lainnya juga tewas ditembak mati oleh sejumlah pembunuh berkendaraan sepeda motor yang diduga oleh kelompok-kelompok HAM terkait dengan penegakan hukum.

Seorang jaksa ICC mengatakan bulan lalu, pemeriksaan pendahuluan menemukan alasan untuk mempercayai bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan di bawah tindakan keras Duterte terhadap para pengedar narkoba, dan meminta izin untuk membuka penyelidikan resmi.

Duterte mengatakan ia tidak akan pernah bekerja sama dalam penyelidikan itu jika memang digelar. VoA/I-1

Baca Juga: