Pemerintah dinilai lambat membangun kemandirian energi sehingga ketahanan energi nasional sangatlah rentan.
JAKARTA - Lambatnya transisi energi membuat keuangan negara terkuras untuk mengimpor energi fosil demi memenuhi kebutuhan bahan bakar pembangkit dan transportasi. Karenanya, Indonesia harus segera beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) yang sumbernya di dalam negeri melimpah sehingga bisa menghemat subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang setiap tahunnya membebani APBN sekitar 200-300 triliun rupiah.
Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan progres transisi energi di bidang pembangkit sangatlah lambat.
Hal itu menurutnya terjadi karena pemerintah memang tidak memiliki niatan kuat dalam penguatan kemandirian energi baru dan terbarukan (EBT) dalam negeri, khususnya untuk pembangkit listrik berbasis EBT.
"Penyelenggara negara masih sangat mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, padahal ini energi kotor dan polutif," ujarnya.
Menurut Huda, hal ini sangat berkaitan dengan bisnis PLN dan oligarki tambang batu bara yang dimiliki oleh pengusaha lingkar Istana. "Ketika pengusaha masuk ke lingkaran Istana sebagai pembuat kebijakan, kebijakan publik yang dibuat hanya untuk memenuhi hasrat penguasa-pengusaha," tegas Huda.
Hal ini, papar Huda, mudah diketahui dengan melihat implementasi Pembangkit Listrik Tenaga EBT jalan di tempat. Baurannya masih sangat rendah sehingga implementasi pemerintah nol besar.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan untuk mengejar kemandirian energi perlu mengejar ketersediaan energi yang terjangkau dan berkelanjutan.
Kalau menurut Dewan Energi Nasional (DEN), Indeks Ketahanan Energi Indonesia masih dalam keadaan baik, tetapi juga menyimpan kerentanan. Sekitar 87 persen energi nasional dipasok oleh energi fosil. Energi fosil adalah tradeable commodity yang memiliki volatilitas harga yang sangat tinggi.
"Kondisi ini mengancam ketahanan energi kita. Untuk memperkuat ketahanan energi maka risiko kerentanan ini harus dikurangi lewat kebijakan diversifikasi dan konservasi energi," jelas Fabby.
Dengan diversifikasi, lanjutnya, pengembangan dan pemanfaatan EBT harus ditingkatkan. Pada saat bersamaan, penguasaan teknologi dan pengembangan industri teknologi energi terbarukan perlu dilakukan agar risiko ketergantungan teknologi pada pemasok asing dapat dikurangi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan dorongan ke arah energi terbarukan harus lebih. "Sebab, selama ini masih setengah hati," tegas Esther.
Menurut Esther, semestinya tidak hanya insentif yang dibutuhkan untuk mengubah perilaku masyarakat agar beralih ke penggunaan EBT, melainkan juga fasilitas pendukungnya juga harus dibangun. Dengan demikian, masyarakat tertarik menggunakan renewable energy.
Pemerintah Serius
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan transisi energi sebagi terobosan utama dalam mewujudkan komitmen global guna mencapai dekarbonisasi. Indonesia bahkan menunjukkan sikap serius atas upaya tersebut kepada pemerintah Tiongkok.
"Kami telah mengembangkan Peta Jalan Emisi Nol Bersih atau Net Zero Emission (NZE) yang komperhensif di sektor energi," ungkapnya saat membuka acara The 7th Indonesia China Energy Forum (ICEF) di Kuta Selatan, Bali, pekan lalu.
Terkait hal itu, pemerintah menawarkan peluang kolaborasi kepada Tiongkok. Tawaran ini atas dasar besarnya potensi sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT) yang dimiliki oleh Indonesia, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).