NEW YORK - Pemerintah Indonesia menyesalkan kegagalan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dalam mengadopsi rancangan resolusi terkait penegakan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi teroris karena veto dari Amerika Serikat (AS), demikian ungkap pejabat Kementerian Luar Negeri RI, Rabu (2/9).

Senin (31/8) lalu, AS memveto rancangan resolusi tentang penanganan terorisme yang sudah disepakati oleh 14 negara anggota dalam pemungutan suara melalui surat elektronik. Duta Besar AS untuk PBB, Kelly Craft, mengatakan bahwa rancangan resolusi yang seharusnya disusun untuk memperkuat tindakan internasional terhadap kontraterorisme itu melupakan poin terpenting yakni repatriasi atau pemulangan eks-militan di Suriah dan Irak untuk diadili di negaranya masing-masing.

Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Alphyanto Ruddyard, mengatakan, beleid pemulangan jihadis asal Indonesia yang berangkat ke Suriah atau Irak untuk bergabung dengan Islamic State (ISIS) memang tidak termuat dalam rancangan tersebut lantaran tidak semua negara memiliki kemampuan yang setara untuk melakukan repatriasi, sehingga memang konsensusnya belum terpenuhi.

"Kami sangat menyayangkan veto ini hanya mendasar pada repatriasi eks-militan saja lalu mengabaikan hal-hal yang lebih besar dan penting dari itu," kata Febrian kepada BenarNews.

Alasan Amerika

Beberapa negara Eropa Barat, termasuk Inggris dan Prancis, telah menentang kembalinya para pejuang ISIS dan keluarganya, kecuali anak-anak seperti mereka yang yatim piatu. Kedua negara tersebut, bersama Indonesia, Tiongkok, Jerman, Russia, termasuk dalam 14 negara anggota yang setuju terhadap resolusi tersebut.

Sebaliknya, Kelly Craft menekankan bahwa repatriasi dan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh para pejuang kelompok militan ISIS penting untuk diikutsertakan dalam rancangan resolusi tersebut sehingga mereka tidak membentuk sel-sel baru ISIS.

"AS memberikan contoh, membawa pulang kembali warga kami dan mengadili mereka jika diperlukan. Setiap negara harus bertanggung jawab atas warga mereka yang terlibat dalam terorisme," ujar Kelly dalam pernyataan tertulisnya.

Dalam pernyataannya, ia mengutip apa yang pernah disampaikan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, "Kami ingin setiap negara untuk mengambil kembali warga mereka. Itu langkah pertama. Mereka harus melakukan itu,".

Kelly lalu menggambarkan rancangan resolusi ini sebagai sebuah lelucon kejam. "Kegagalan membahas pentingnya repatriasi pasti akan melanggengkan masalah terorisme," kata dia.

Merujuk pada laporan International Crisis Group pada April lalu menyatakan bahwa ada 66.000 perempuan dan anak-anak ditahan di kamp Al-Hol dan 4.000 lainnya di kamp Roj di Suriah.

Sebagian besar dari mereka adalah keluarga dari pejuang ISIS, dan mayoritas adalah warga Suriah atau Irak, sementara sekitar 13.500 orang lainnya berasal dari negara lain. SB/BenarNews/I-1

Baca Juga: