JAKARTA - Pemerintah Indonesia dan Russia sepakat melakukan imbal dagang hasil komoditas perkebunan dengan 11 pesawat tempur Sukhoi Su-35. Kesepakatan itu tertuang dalam nota kesepahaman (MoU) antara kedua belah pihak yang selanjutnya dilakukan dengan perjanjian pembelian setelah komoditas asal RI dan valuasi harganya dimasukkan imbal beli disepakati.

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita menyampaikan pemerintah kedua negara menunjukkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan imbal beli komoditas dari Indonesia. "Kami telah tugaskan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk menindaklanjutinya, sementara dari pihak Russia, Rostec," ungkapnya di Jakarta, Selasa (22/8).

Eenggar menambahkan komoditas perkebunan yang akan ditawarkan yakni karet, minyak sawit, mesin, kopi, kakao, tekstil, teh, alas kaki, ikan olahan, furniture, kopra, plastik, resin, kertas, rempah-rempah,produk industri pertahanan serta beberapa produk lainnya.

Terkait imbal dagang tersebut, Enggar menyampaikan langkah tersebut sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Dalam pasal 43 ayat 5 (e) menyebutkan setiap pembelian peralatan pertahanan keamanan dari luar negeri wajib disertakan imbal dagang dengan kandungan lokal (offset) 85 persen dan terendah 35 persen.

Dalam pembelian pesawat tempur tersebut, Russia memberikan offset 35 persen dari kewajiban 85 persen, sehingga kewajiban Negeri Beruang Merah dalam imbal beli itu sebanyak 50 persen dari nilai kontrak sebesar 1,14 milliar dollar AS.

Nilai pembelian 11 pesawat tempur Russia tersebut mencapai 1,14 milliar dollar AS atau setara dengan 15,16 trilliun rupiah dengan kurs 13 ribu rupiah per dollar AS.

"Dengan adanya barter tersebut, Indonesia bakal mengantongi nilai ekspor dari karet sebesar 570 juta dollar AS dari 1,14 milliar dollar AS pengadaan pesawat Sukhoi Su-35," terang Enggar.

Russia merupakan mitra dagang terbesar ke-24. Pada 2016, nilai perdagangan RI-Russia sebesar 2,11 miliar dollar AS.

Tak Produktif

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai imbal dagang yang dilakukan pemerintah dengan Russia tidak produktif.

"Mestinya produk-produk perkebunan itu dibarter dengan bahan baku yang ketergantungan impornya sangat tinggi seperti halnya susu," pungkasnya. ers/E-10

Baca Juga: