JAKARTA - Hasil riset yang dikemukakan perusahaan teknologi dan sektor energi asal Finlandia, Wartsila Energy, menyatakan Indonesia membutuhkan lebih dari 92 gigawatt daya fleksibel untuk mencapai pemanfaatan 100 persen energi terbarukan yang hemat biaya.

"92,6 gigawatt (GW) aset fleksibel diperlukan agar sistem energi Indonesia dapat berjalan menggunakan 100 persen energi terbarukan dengan biaya yang rendah," kata Director Australasia Wartsila Energy, Kari Punnonen, dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (4/4).

Menurut dia, pihaknya telah menyoroti pertumbuhan kebutuhan yang signifikan dalam meningkatkan fleksibilitas daya di Indonesia, dalam bentuk penyimpanan energi dan teknologi gas fleksibel, untuk memungkinkan masa depan terwujud dengan 100 persen energi terbarukan.

Kapasitas yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan peralihan Indonesia ke jaringan listrik yang diberdayakan oleh energi terbarukan harus berasal dari dua teknologi utama, yaitu sistem penyimpanan energi berkapasitas lebih dari 82 GW, serta tenaga gas fleksibel berkapasitas lebih dari 10 GW yang mampu beroperasi dengan bahan bakar nabati dan bahan bakar masa depan.

"Laporan iklim PBB di bulan lalu (Maret) memberikan pesan yang jelas bagi Indonesia, untuk dekarbonisasi dengan biaya yang rendah, tingkat energi terbarukan yang tinggi harus ditingkatkan per 2030," kata Kari Punnonen.

Dengan memberikan porsi yang besar terhadap energi terbarukan dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memproduksi bahan bakar masa depan yang netral karbon yang menghilangkan karbon dari semua sektor yang menggunakan energi secara intensif, dari tenaga listrik hingga mobilitas.

Seperti diketahui, Indonesia membutuhkan investasi sebanyak 167 miliar AS untuk pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan membangun 56 GW tambahan pembangkit energi hijau.

"Kita membutuhkan total investasi sektor EBT sekitar 167 miliar dollar AS untuk mencapai target penurunan emisi di tahun 2030, dengan membangun 56 GW tambahan pembangkit EBT," kata Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Medrilzam, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: