Komitmen penurunan laju pemanasan global tidak bisa berjalan instan, butuh waktu untuk terjadinya transformasi di berbagai sektor agar laju emisi menurun dalam 3-5 tahun mendatang.
JAKARTA - Pemerintah Indonesia perlu menggencarkan diplomasi iklim di berbagai forum internasional karena ancaman perubahan iklim kian nyata. Sebagai gambaran, saat ini Antartika dan Greenland mencair tiga kali lebih cepat dibandingkan awal 1990 sehingga berpotensi menjadi kekacauan iklim ke depannya.
"Indonesia mesti berperan serius, tidak hanya berusaha menarik investasi dengan gimmick transisinya, tetapi perlu membangun diplomasi iklim, khususnya ke negara-negara kepulauan lainnya yang paling terancam perubahan iklim untuk mendorong keseriusan global dalam mengatasi krisis iklim yang lebih adil," tegas Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, ketika dihubungi Koran Jakarta, Kamis (30/11).
Studi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk menahan laju pemanasan dunia atau global warming di bawah 1,5 derajat Celsius menjadi kerangka kesepakatan-kesepakatan global. Namun, praktiknya angka emisi global masih terus meningkat 1,2 persen pada 2021-2022. Angka tersebut berpotensi naik lagi tahun ini sebagai dampak cuaca ekstrem El Nino dan kebakaran hutan yang meluas.
"Artinya, komitmen penurunan tidak bisa berjalan instan butuh waktu untuk terjadinya transformasi di berbagai sektor agar laju emisi menurun dalam 3-5 tahun mendatang. Terlebih, banyak negara dan juga sektor bisnis justru sedang mengejar pertumbuhan pascapandemi Covid-19," ujarnya.
Sepertinya, lanjut Hafidz, COP-28 di Dubai nanti jadi penentu. Kalau tidak menghasilkan komitmen mengikat secara global maka seperti prediksi terburuk bukan hanya menyentuh 1,5 derajat Celsius bahkan dikhawatirkan masuk kisaran 2,5-3 derajat Celsius, dan konsekuensinya cukup serius bagi ketahanan hidup masyarakat global, terutama pada kerentanan pangan, bencana dan air bersih.
Salah satu keseriusan itu, menurut Hafidz, yakni aturan pasar dan pajak karbon yang berlaku secara global. Hasilnya secara mengikat dan transparan wajib direinvestasikan bagi upaya mitigasi perubahan iklim, bukan sekadar mencari sumber pendanaan baru atau cenderung menjadi cara baru untuk menjalankan restriksi dagang.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan, di Indonesia, sudah ada skema pendanaan transisi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang mencapai 21 miliar dollar AS. "Meskipun tidak ideal, tetapi paling tidak telah mendorong adanya perencanaan untuk melakukan transisi energi di sektor listrik dengan komitmen pendanaan," ucapnya.
Tugas pemerintah, kata Fabby, adalah memastikan reformasi kebijakan, yang diidentifikasi dalam dokumen investasi dan kebijakan atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), dapat dilakukan segera. "Demikian juga dukungan politik dan pembiayaan dari pemerintah untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) lewat skema energy transition mechanism (ETM) country platform juga diperlukan. Ini salah satu tugas dari Kemenkeu," tandasnya.
Seruan Aksi
Seperti diketahui, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengingatkan es Antartika tengah mencair dan menyerukan aksi global untuk mengatasi kekacauan iklim.
Dia menambahkan es laut Antartika mencapai rekor terendah pada September 2023, yakni menyusut 1,5 juta kilometer (km) persegi lebih kecil dari rata-rata sepanjang tahun. Dia juga memperingatkan bahwa dunia sedang menuju kenaikan suhu 3 derajat Celsius pada akhir abad ini.