JAKARTA - Indonesia mempunyai pekerjaan rumah (PR) besar untuk menciptakan akumulasi dana keuangan yang bersifat jangka panjang. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara, mengatakan PR itu sangat penting diselesaikan karena Indonesia masih memiliki banyak sekali infrastruktur yang harus dibangun dengan kebutuhan pendanaan yang besar.

Hal itu menjadi salah satu faktor pendorong pemerintah menerbitkan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) sebagai payung hukum dalam mendorong akumulasi dana jangka panjang.

Sektor keuangan, jelas Suahasil, memegang peran penting dalam akumulasi dana jangka panjang, lantaran akumulasi dana tersebut membutuhkan instrumen, ketersediaan dana, kepastian hukum, perlindungan, dan keyakinan yang harus diatur dengan baik.

Selain dana jangka panjang, ia mengungkapkan terdapat empat pilar fokus lain dalam UU P2SK, yaitu penguatan kelembagaan dari otoritas sektor keuangan, memperkuat tata kelola industri keuangan, perlindungan terhadap konsumen produk keuangan, serta literasi, inklusi, dan inovasi sektor keuangan.

Libatkan Swasta

Menanggapi pernyataan Wamenkeu itu, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan Indonesia memang membutuhkan akumulasi dana keuangan yang bersifat jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur. Namun demikian, kalau akumulasi tersebut dipenuhi dari utang maka akan membebani keuangan negara.

"Kita memang membutuhkan dana semacam itu karena kebutuhan infrastruktur ke depan yang masih besar. Tapi jika itu dipenuhi dengan utang dan obligasi, akan membebani keuangan negara," kata Imron.

Dia mencontohkan, setiap tahun pemerintah harus membayar cicilan utang dan bunga sekitar 500 triliun rupiah atau hampir seperempat dari kekuatan APBN. Akibatnya, kemampuan APBN dalam pembangunan menjadi terbatas.

"Pemerintah seharusnya menggunakan model-model kerja sama dengan swasta dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur. Contohnya, Surabaya bekerja sama dengan sejumlah pengembang dalam membangun infrastruktur di wilayah Surabaya barat. Model-model seperti ini bisa diadopsi untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur," jelas Imron.

Pada kesempatan yang lain, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan pembangunan infrastruktur harus dibiayai dari dana jangka panjang juga, seperti surat utang negara, obligasi dan dana pensiun. Sebab, tenornya relatif panjang dan dananya relatif murah.

"Selama ini, pembangunan infrastruktur menggunakan dana jangka pendek seperti pinjaman bank yang bunganya lebih tinggi. Sebaiknya pemerintah membentuk lembaga investment house yang mengelola dana jangka panjang seperti di Jepang dan Korea," katanya.

Baca Juga: