» Nomura tidak setuju pasar negara berkembang lebih tangguh dari taper tantrum pada 2013.

» Kerentanan baru di negara berkembang adalah derasnya arus modal asing, stok utang yang meningkat dan bengkaknya defisit anggaran.

JAKARTA - Perusahaan keuangan Jepang, Nomura, menyebutkan Indonesia akan menjadi salah satu negara berkembang yang akan terdampak parah jika Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Ferderal Reserve, melakukan kebijakan moneter ketat melalui tapering off atau mengurangi pembelian nilai aset quantitative easing oleh The Fed.

Dalam laporan tersebut, saat tapering off pada 2013 lalu, Nomura memasukkan Indonesia pada daftar lima negara berkembang yang paling rentan terdampak atau the fragile five, bersama Brasil, India, Turki, dan Afrika Selatan.

Sedangkan pada tahun ini, Indonesia masuk kategori 10 negara rentan atau the fragile 10, bersama Brasil, Turki, Afrika Selatan, Kolombia, Cile, Peru, Hungaria, Romania, dan Filipina jika tapering off dilakukan.

"Kami tidak setuju dengan mereka yang percaya bahwa pasar negara berkembang dalam posisi yang lebih tangguh dari taper tantrum pada 2013. Pasar negara berkembang menemukan sumber kerentanan baru, dengan kombinasi pertumbuhan yang lemah, inflasi yang meningkat dan kemerosotan dalam fiskal," sebut Nomura dalam laporannya, seperti dikutip Minggu (5/9).

Kendati demikian, perusahaan itu mengakui kalau negara the fragile 10 sudah memiliki fundamental ekonomi lebih baik dibandingkan delapan tahun lalu. Terlihat dari kondisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang terkendali dan cadangan devisa yang cukup kuat.

Mereka mengakui, kalau pandemi Covid-19 telah mengacaukan segalanya. Apalagi, perekonomian Tiongkok yang berpotensi mengalami perlambatan sehingga kerentanan masih tetap menghantui the fragile five.

Kerentanan tersebut, antara lain arus modal asing yang masuk ke pasar dalam negeri, stok utang yang meningkat, dan defisit anggaran yang membengkak.

Besarnya arus portofoilo yang masuk di satu sisi akan memperkuat nilai tukar, namun di sisi lain saat terjadi pembalikan arus modal asing secara besar-besaran, maka akan menekan kurs.

Sementara itu, kerentanan yang berkaitan dengan utang di mana beberapa negara kini memiliki utang publik yang sangat tinggi. Brasil rasio utangnya sudah mencapai 98,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan India 86,6 persen dari PDB. Nomura menyebut kedua negara ini berada dalam lingkaran setan (doom loop).

Sementara Indonesia, rasio utang publiknya 41,4 persen dan Cile 33,6 persen dari PDB. Lembaga tersebut juga menilai kerentanan dari defisit fiskal yang melebar berpotensi menyebabkan CAD ikut tertekan.

The Fed sendiri sudah memberi sinyal akan mulai melakukan tapering off pada akhir tahun 2021, meski suku bunga acuan masih akan dibiarkan rendah.

Mesti Dikelola

Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus bisa mengelola risiko dari tapering off tersebut.

Kebijakan burden sharing atau berbagi beban, jelasnya, harus diturunkan, bahkan dihentikan karena tapering off menuntut kebutuhan devisa dari bank sentral untuk stabilisasi pasar keuangan jika dibutuhkan.

Tapering off juga berisiko terhadap imported inflation karena pelemahan kurs akan membuat efek lanjutan inflasi barang baku dan barang konsumsi khususnya kebutuhan pokok. "Kalau ini terjadi akan memberi tekanan pada pemulihan ekonomi di Indonesia," kata Bhima.

Dia menyarankan agar pemerintah lebih banyak menarik investasi langsung (FDI) yang berkualitas agar bisa mengimbangi tekanan di portofolio. Devisa hasil ekspor, tambahnya, harus diarahkan agar tetap berada di dalam negeri sehingga memperkuat stok valuta asing.

Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan dengan masuknya Indonesia dalam kategori paling terdampak, seharusnya membuat otoritas fiskal dan moneter lebih siap dan waspada serta menyiapkan langkah antisipasi.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, sebelumnya mengatakan dampak kali ini tidak akan sebesar taper tantrum pada 2013. BI, katanya, telah melakukan antisipasi sejak Februari 2021 dengan kebijakan triple intervention untuk menjaga kurs rupiah stabil. Triple intervention BI, meliputi intervensi jual di pasar spot, pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas, serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Baca Juga: