Untuk menunjukkan kepemimpinan dalam mengatasi perubahan iklim, Indonesia harus mampu mewujudkan berbagai komitmen secara serius, terutama dalam aspek konservasi dan rehabilitasi hutan.
JAKARTA - Indonesia belum dipandang sebagai pemimpin agenda perubahan iklim global karena hingga kini sejumlah masalah lingkungan masih kerap terjadi seperti deforestasi atau perusakan hutan dan mangrove. Pengaruh Indonesia masih kalah dibanding Brasil dan India.
Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan untuk menunjukkan kepemimpinan dalam mengatasi perubahan iklim, Indonesia harus mampu mewujudkan komitmennya secara serius, terutama dalam aspek konservasi dan rehabilitasi.
Dari data global forest watch, memang terjadi penurunan deforestrasi terutama sejak 2016, tetapi angkanya masih cukup besar di atas 100 ribu hektare (ha) per tahun, sedangkan secara akumulatif dari 2001 hingga 2022 mencapai 4,1 juta ha, artinya jika dirata-rata mencapai 186 ribu ha per tahun.
Sedangkan untuk hutan mangrove, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan lajunya mencapai 5 persen per tahun dengan luas sekitar 1,6 juta ha yang masih terjaga, sekitar 1,8 juta ha mengalami kerusakan. "Dan sejak 1990 kita telah kehilangan 40 persen hutan mangrove," ungkap Hafidz kepada Koran Jakarta, Rabu (10/1).
Untuk kebakaran hutan, paparnya, dengan kondisi curah hujan relatif tinggi dan beriklim dua musim, Indonesia relatif aman, kecuali pada masa-masa El Nino, seperti pada 2014, 2019 dan pertengahan 2023. "Jadi, kendali kebakaran hutan akan terbukti dalam menghadapi kerentanan tinggi, pada 2023 mencapai lebih dari 900 ribu hektare," paparnya
Karena itu, Hafidz mendorong kepastian regulasi untuk mencapai target penurunan signifikan deforestrasi, sambil juga melakukan upaya-upaya mengintensifkan restorasi lahan kritis. Dirinya juga mendorong insentif bagi berbagai upaya konservasi dan restorasi lahan kritis.
Selain itu, lanjutnya, penegakan hukum perlu diperkuat guna mencegah pembabatan hutan, bersamaan dengan penertiban izin-izin usaha terutama di kawasan hutan dan pengawasan terhadap izin usaha di berbagai sektor terkait.
"Lalu, ditambah keterpaduan data pusat daerah juga menjadi kuncinya untuk memastikan perencanaan wilayah lebih selaras dengan upaya-upaya pencegahan krisis iklim," jelasnya.
Aksi Mitigasi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan Indonesia memang berhasil menunjukkan keberhasilan melakukan aksi mitigasi perubahan iklim di tingkat domestik. Ini mendapatkan apresiasi internasional.
"Kita mendapatkan banyak bantuan internasional untuk itu. Tetapi saya kira Indonesia belum dipandang sebagai pemimpin agenda iklim global bagi negara negara berkembang (G77 + Tiongkok). Saya lihat negara seperti Brasil atau Afrika Selatan jauh lebih berpengaruh dalam agenda agenda iklim global," ucapnya.
Fabby menegaskan persoalan besar Indonesia adalah konsistensi. "Kita punya target-target ambisius, tetapi implementasi lemah. Banyak ketidakpastian karena kebijakan yang tumpang tindih dan koordinasi antarsektor yang sukar," tegasnya.
RI, ungkapnya, mempunyai kesempatan menjadi leader bagi negara berkembang dalam menghadapi krisis iklim. Namun, kesempatan itu tidak digunakan dengan baik.