JAKARTA - Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS) Tiongkok pada Jumat (20/9) lalu melaporkan pendapatan penduduk Tiongkok tumbuh pesat selama 75 tahun terakhir. Pendapatan mereka yang siap dibelanjakan (disposable income) per kapita meningkat dari 49,7 yuan (1 yuan = 2.162 rupiah) pada 1949 menjadi 39.218 yuan pada 2023.

Setelah disesuaikan dengan inflasi, pendapatan penduduk Tiongkok tumbuh rata-rata 6 persen per tahun, yang menghasilkan peningkatan riil luar biasa sebesar 75,8 kali lipat. Pada 2020, Tiongkok mewujudkan targetnya untuk memberantas kemiskinan absolut secara nasional, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pengentasan kemiskinan global.

Disposable income per kapita penduduk perdesaan yang telah keluar dari kemiskinan terus tumbuh. Angkanya meningkat dari 12.588 yuan pada 2020 menjadi 16.396 yuan pada 2023, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 8,2 persen.

Dalam 75 tahun terakhir, kesenjangan pendapatan perkotaan dan perdesaan serta antarwilayah terus mengerucut. Pertumbuhan pendapatan penduduk perdesaan terus melampaui penduduk perkotaan sejak 2012. Disposable income per kapita penduduk perdesaan mencapai 21.691 yuan pada 2023, yang mewakili pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 7 persen.

Segelintir Elite

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, yang diminta pendapatnya mengatakan lompatan yang dilakukan Tiongkok itu patut ditiru Indonesia, karena pembangunan yang mereka lakukan bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan kue ekonominya mereka nikmati dengan adil.

"Berbeda di Indonesia, selama ini kue ekonomi hanya dinikmati segelintir orang, jauh dibandingkan dengan Tiongkok. Kondisi ini tidak baik untuk jangka panjang. Konsentrasi dan dominasi kekuasaan ekonomi oleh segelintir pemilik kapital dalam dan luar negeri akan menghasilkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi," kata Awan. Menurut awan, hal itulah yang membuat struktur ekonomi Indonesia tidak kuat. Ini juga menghambat transformasi sosial dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara signifikan.

Kendati sudah berlangsung lama, kondisi seperti itu tidak diatasi pemerintah, bahkan terkesan membiarkan. Barangkali pemerintah juga tidak berdaya, sebab kadangkala pemerintah dan DPR justru melawan konstitusi yang mengamanatkan demokratisasi ekonomi.

"Oligarki itu juga menyokong kekuasaan politik mereka," katanya. Peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan Tiongkok dengan bentuk negaranya yang memang sosialis, namun ekonominya ekonomi pasar, mereka bisa mengarahkan pembangunan negaranya dengan tepat. Pembangunan manufaktur Tiongkok sangat masif sekali sehingga pertumbuhan ekonomi Tiongkok bisa mencapai 14 persen.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Tiongkok mampu membangun infrastruktur untuk pemerataan pembangunan, walaupun memang masih terkonsentrasi wilayah dekat laut/pantai. "Berbeda dengan Indonesia, yang ketika itu menikmati oil boom, namun tidak digunakan untuk membangun pembangunan nasional secara merata dan optimal. Ditambah, kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara waktu itu. Akhirnya terjadi ketimpangan luar biasa," papar Huda.

Baca Juga: