» Langkah proaktif harus disiapkan karena kondisi geopolitik bisa cepat bergerak liar.

» Sejauh ini, antisipasi resesi masih terfragmentasi, tidak dalam satu koordinasi.

JAKARTA - Pemerintah melakukan stress test untuk mengidentifikasi risiko dan langkah yang perlu disiapkan untuk menghadapi ancaman resesi global pada 2023. Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan dari hasil stress test itu, Indonesia dinilai siap menghadapi perfect storm.

Perfect storm sendiri adalah kondisi yang terjadi karena adanya tiga permasalahan secara bersamaan, yaitu ancaman inflasi tinggi termasuk beberapa negara maju, resesi baik teknis maupun efektif, dan ketidakpastian akibat kondisi geopolitik.

"Presiden sudah perintahkan kemarin untuk melakukan stress test. Dicek, kalau ada skenario begini, apa yang terjadi, bagaimana ekonomi kita masih bisa tidak," kata Luhut di Jakarta, Rabu (12/10).

Menurut Luhut, perfect storm bisa terjadi pada negara mana pun di dunia, sehingga Indonesia pun harus berhati-hati. Apalagi, perang Russia-Ukraina belum menunjukkan akan segera berakhir, bahkan semakin memanas yang dikhawatirkan semakin membuat krisis pangan dan energi berlangsung lebih lama.

"Kalau sampai ada limited dan nuclear war, itu sudah sangat berbahaya karena kalau orang sudah terdesak, bukan tidak mungkin dia melakukan apa saja," kata Luhut.

Oleh karena itu, Luhut mengatakan pemerintah saat ini sedang menghitung dan menyiapkan skenario-skenario terburuk untuk menghadapi kondisi tersebut. Ia hanya meminta semua pihak kompak menghadapinya.

Luhut memastikan bahwa Indonesia masih jauh dari ancaman masuk jurang resesi, namun ia mengingatkan agar Indonesia tidak jumawa.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, sepakat kalau ancaman resesi tidak bisa dipandang enteng karena makin banyak pihak yang mengkhawatirkan hal itu. Terbaru, IMF juga memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya resesi global yang parah tahun depan, termasuk karena suku bunga yang terus meninggi.

"Upaya pemerintah melakukan stress test merupakan langkah tepat sehubungan dengan inflasi yang tambah membumbung, resesi baik secara teknis maupun efektif, serta ketidakpastian akibat kondisi geopolitik. Harus juga diingat bahwa beberapa bulan lalu Indonesia sudah masuk dalam peringkat 14 dari 15 negara yang memiliki risiko dilanda resesi," kata Aloysius.

Menurutnya, stress test harus segera dilakukan dan tidak ditutup-tutupi agar segera dapat disusun langkah-langkah proaktif, terlebih karena kondisi geopolitik yang juga dapat dengan cepat bergerak liar.

Saat ini, merujuk IMF, monetary tightening maupun fiscal tightening Indonesia masih di level bawah. Artinya, secara teknis masih ada ruang manuver, misalnya untuk menaikkan suku bunga. Namun, seperti peringatan IMF, instrumen suku bunga ini harus digunakan secara hati-hati, jangan sampai mempercepat proses menuju resesi.

Disiplin fiskal juga menjadi sangat penting, seperti dengan menghindari belanja-belanja yang tidak perlu. Disiplin tersebut hendaknya tidak hanya di level pusat, tetapi juga di daerah.

Paket Kebijakan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan pemerintah harus segera mengeluarkan paket kebijakan antisipasi resesi ekonomi, jangan menunggu bahaya lebih besar lagi.

"Tidak cukup hanya lakukan stress test. Kalau soal uji tekanan sebenarnya rutin dilakukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), tetapi yang urgen saat ini ialah paket kebijakan," tegasnya.

Isi paket kebijakan, lanjut Bhima, sebaiknya meliputi relaksasi pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 8 persen. Kemudian, penambahan alokasi dana perlindungan sosial (perlinsos)," tambah Bhima.

Hal lainnya ialah bantuan subsidi bunga lebih besar bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), subsidi uang muka hingga subsidi upah bagi pekerja sektor informal.

Sejauh ini, antisipasi resesi masih fragmentasi tidak dalam satu koordinasi misalnya dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) padahal masalahnya bukan soal inflasi karena BBM.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan pemerintah harus bersiap menghadapi resesi. Tahun ini mungkin kondisi itu tidak terlalu parah, tetapi tahun depan akan lebih parah sehingga segala antisipasi perlu dipersiapkan.

Baca Juga: