JAKARTA - Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS) merilis data makroekonomi terbaru mengindikasikan ekonomi negara ekonomi terbesar itu terancam menuju stagflasi. Tanda-tanda suram tersebut mengisyaratkan tantangan-tantangan berat di masa mendatang, menurut Business Insider.

Berdasarkan laporan, Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat (AS) meningkat pada tingkat tahunan hanya 1,6 persen di kuartal I-2024 jauh di bawah proyeksi 2,5 persen. Pertumbuhan yang lebih lambat dari yang diharapkan itu mengikuti kenaikan 3,4 persen yang tercatat pada Oktober-Desember 2023 dan 4,9 persen pada kuartal sebelumnya.

"Ini adalah laporan terburuk dari dua hal pertumbuhan yang lebih lambat dari yang diperkirakan. Inflasi yang lebih tinggi dari yang diperkirakan," kata Kepala Investasi CIBC Private Wealth US, David Donabedian.

Pertumbuhan yang lemah dan melonjaknya harga-harga konsumen merupakan tanda-tanda stagflasi, yang ditandai dengan kelesuan ekonomi dan kenaikan inflasi dalam jangka waktu yang lama. AS terakhir kali dilanda stagflasi pada 1970- an ketika inflasi melonjak hingga dua digit saat ekonomi jatuh.

Para pembuat kebijakan di AS merespons dengan menaikkan suku bunga acuan hingga mencapai 20 persen untuk menurunkan harga, namun membuat ekonomi AS jatuh ke dalam resesi yang dalam. Federal Reserve (the Fed) pada Maret menahan suku bunga di kisaran 5,25 persen-5,5 persen.

Harga Minyak

Pakar ekonomi Universitas Airlangga, Rudi Purwono, yang diminta pendapatnya, mengatakan pemerintah harus bersiap mengantisipasi berbagai dampak global seperti stagflasi dan bentuk krisis lainnya, terutama dari ekonomi terbesar dunia seperti Amerika Serikat.

"Harus diperhatikan kondisi global seperti potensi stagnasi di AS karena akan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi nasional. Ini bisa mempengaruhi harga minyak dan nilai tukar, karena ini dapat menyebabkan kenaikan harga secara umum di pasar atau inflasi.

Untuk mengatasi kenaikan nilai dollar AS dan melindungi ekonomi domestik, pemerintah harus memastikan pertumbuhan ekonomi terus berjalan sesuai target yang telah ditetapkan.

Pemerintah juga, katanya, harus siap menghadapi perubahan harga minyak dengan menyesuaikan APBN. Selain itu, otoritas keuangan harus berperan aktif menjaga stabilitas ekonomi.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, mengatakan kebijakan AS sangat dilematis. Di satu sisi target inflasi belum mencapai 2 persen, sementara pertumbuhan ekonomi jauh di bawah proyeksi.

Baca Juga: