Singapura menaikkan target impor listrik bersihnya menjadi 6 GW pada bulan September, yang akan memenuhi sekitar 30 persen permintaan listrik pada tahun 2035.

SINGAPURA - Menteri Kedua Perdagangan dan Industri Singapura, Tan See Leng, pada Selasa (22/10), mengatakan Singapura telah menyetujui secara bersyarat impor listrik tenaga surya senilai 24 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Impor listrik dari dari wilayah Utara Australia dengan kapasitas 1,75 gigawatt (GW) akan dimulai setelah 2035. Singapura menyadari betapa pentingnya energi hijau yang dihasilkan dari tenaga Matahari untuk masa depan negaranya.

Makanya Singapura berani mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk mengalirkan listrik melalui kabel bawah laut dari Australia. Dengan menggunakan energi Matahari, selain mengurangi polusi, Singapura juga akan mendapat kredit karbon. Dikutip dari The Straits Times, pengembang proyek tenaga surya Australia akan membangun ladang tenaga surya besar di wilayah selatan Darwin. Listrik yang dihasilkan akan disalurkan ke Singapura melalui kabel bawah laut sepanjang 4.300 kilometer.

Listrik sebesar 1,75GW mewakili sekitar 9 persen dari total kebutuhan listrik Singapura. Berbicara di Asia Clean Energy Summit, Tan mengatakan proyek tersebut merupakan proyek yang ambisius, mengingat skala dan jarak antara Australia dan Singapura. Negaranya akan terus memberikan lampu hijau bagi proyek impor listrik bersih yang kredibel, meskipun proyek tersebut membutuhkan waktu lebih lama untuk terealisasi dan diperpanjang hingga setelah tahun 2035.

Proyek Sun Cable telah dimulai sejak awal 2019, dengan target pembangunan dimulai paling cepat pada pertengahan tahun 2023, sedangkan pengoperasian diproyeksikan akan dimulai pada awal 2026 dan selesai pada akhir tahun 2027.

Namun, pada Januari 2023, proyek tersebut gagal ketika Sun Cable terjadi perselisihan pendanaan antara raja pertambangan Australia, Andrew Forrest dan salah satu pendiri perusahaan teknologi Atlassian, Mike Cannon-Brookes. Pada Mei tahun itu, konsorsium yang dipimpin oleh Grok Ventures milik Cannon- Brookes mengakuisisi perusahaan tersebut, dan merampungkan pengambilalihan tersebut pada bulan September 2023. Pemerintah Australia memberikan lampu hijau bagi proyek tersebut pada bulan Agustus 2024, yang memungkinkan listrik untuk diekspor ke Singapura.

Perkembangan ini terjadi setelah Singapura menaikkan target impor listrik bersihnya menjadi 6 GW pada bulan September, yang akan memenuhi sekitar 30 persen permintaan listrik pada tahun 2035. Selain proyek Sun Cable, kesepakatan impor sebesar 5,6 GW telah ditandatangani dengan Indonesia, Kamboja, dan Vietnam sejauh ini.

Harga Layak dan Komersial

Tan mengatakan Energy Market Authority (EMA) mengakui proyek Sun Cable layak secara teknis dan komersial. "Agar proyek ini dapat maju ke tahap pengembangan lebih lanjut dan menerima persetujuan regulasi, Sun Cable perlu menawarkan harga yang layak secara komersial dan dapat diterima oleh pelanggan," kata EMA.

Dalam wawancara dengan wartawan, Kepala Eksekutif Sun Cable, Mitesh Patel, mengatakan bahwa antara sekarang dan tahun 2035, perusahaan berupaya menandatangani perjanjian pembelian jangka panjang dengan pembeli korporat di Singapura, yang dapat berkisar dari perusahaan teknologi besar hingga perusahaan farmasi, untuk listrik bersihnya. Selama tahap pertama, selain listrik yang diekspor ke Singapura, proyek tersebut akan memasok total 800 hingga 900 megawatt tenaga surya ke kawasan industri di Darwin.

Kondisi itu yang menuntut pembangkit listrik tenaga suryanya memiliki kapasitas antara 17GW dan 20GW pada beban puncak, yang menjadikannya salah satu instalasi energi terbarukan terbesar di dunia. Sistem penyimpanan baterainya akan memiliki kapasitas antara 37 dan 42 GW-jam untuk menyeimbangkan ketersediaan energi, mengingat sinar matahari tidak tersedia sepanjang waktu.

Tan mengatakan untuk memajukan proyek tersebut, Sun Cable perlu memvalidasi lebih lanjut rencana teknis dan komersialnya, dan mengamankan semua persetujuan yang diperlukan dari yurisdiksi terkait, termasuk negara-negara yang akan dilalui kabel tersebut. Menanggapi pertanyaan, EMA mengatakan bahwa tergantung pada rute yang akhirnya dipilih perusahaan, kabel bawah laut tersebut mungkin melewati Australia, Indonesia, dan Singapura.

Pada tahun 2021, Sun Cable mendapat persetujuan dari otoritas Indonesia untuk melakukan survei bawah laut di perairan teritorial mereka, dan memetakan rute kabel bawah laut ke Singapura. Patel mengatakan kepada wartawan bahwa perusahaan telah menyelesaikan survei bawah laut untuk sekitar 70 persen rute sejauh ini. Pada tahun 2027, ia memperkirakan perusahaan akan mencapai tahap financial close, yaitu saat semua perjanjian proyek dan pembiayaan telah ditandatangani.

Saat itu, aktivitas konstruksi akan dimulai. Ini akan terdiri dari tiga elemen, pembangunan ladang surya, beserta sistem penyimpanan baterai, saluran transmisi udara dari ladang surya ke Darwin, dan pembangunan kabel bawah laut dari Darwin ke Singapura. "Seiring berjalannya waktu, kami akan menyempurnakan jadwal itu karena kami masih dalam tahap perencanaan dan pengembangan," imbuh Patel. Pembangunannya diperkirakan menelan biaya 24 miliar dollar AS.

"Sekitar 170 juta dollar AS telah diinvestasikan dalam proyek tersebut selama tiga tahun terakhir, sehingga menghasilkan kemajuan substansial dalam mencapai tonggaktonggak penting pengembangan proyek," kata Patel. "Langkah-langkah tersebut termasuk memperoleh persetujuan lingkungan untuk pengembangan proyek, mengamankan opsi lahan untuk ladang tenaga surya, dan melakukan survei kabel bawah laut," tambahnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, Singapura sangat komitmen melakukan dekarbonisasi maka mereka impor energi surya dari Australia. Agar lebih aman sumbernya bukan hanya dari satu negara, tetapi dari beberapa negara termasuk dari Indonesia dan Laos," kata Fabby.

Jika Indonesia serius, sebenarnya kebutuhan listrik tenaga Matahari Singapura, semuanya bisa dipasok dari Indonesia. Tapi jangankan ekspor ke Singapura, membangun energi hijau untuk rakyatnya sendiri saja tidak kunjung dilakukan. Padahal sinar Matahari sangat berlimpah di wilayah Indonesia dan bersinar hampir sepanjang tahun. Bukannya membangun energi hijau, Indonesia malah masih membangun PLTU. Seharunya batu bara sebagai bahan bakar PLTU diekspor untuk menghasilkan devisa.

Baca Juga: