JAKARTA - Indonesia harus mampu melakukan inisiatif dan terobosan yang bisa memengaruhi negara-negara di dunia dalam menghadapi ancaman climate change atau perubahan iklim. Selain itu, juga harus menentukan langkah-langkah dalam menyiapkan tatanan global baru berkaitan dengan pemanasan global tersebut.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (27/7), mengatakan Indonesia harus memaparkan kontribusi dalam menangani perubahan iklim global karena penanganannya membutuhkan sinergi dari seluruh negara. "Kita tidak seharusnya selalu dalam situasi menunggu dan defensif ketika negara lain membuat regulasi baru kita tergopoh-gopoh menyesuaikan," kata Menkeu.

Sebagai negara yang besar dari sisi geografis, jumlah penduduk dan size ekonomi, pasti menjadi salah satu negara yang diperhitungkan partisipasinya dalam menangani risiko perubahan iklim. Apalagi, suara Indonesia mewakili negara level middle income yang merepresentasikan kepentingan negara-negara berkembang.

Dalam forum G20 juga dibentuk Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan atau Sustainable Finance Working Group (SFWG) yang akan membahas berbagai kebijakan mengenai sustainable finance. Hal yang dibahas dalam SFWG tersebut meliputi penyelarasan arus keuangan dan akses terhadap informasi yang andal dan tepat waktu serta penyesuaian pengelolaan risiko iklim yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan pendanaan publik.

Indonesia terus mengintegrasikan aspek sustainability dan climate change trap dalam semua pengambilan keputusan di bidang keuangan. "Mainstreaming ini pasti terjadi. Jangan menunggu, lebih baik kita inisiatif menyiapkan," tegas Menkeu.

Peneliti Energi Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman, sebelumnya mengatakan kalau di sektor keuangan sudah mulai serius mengarah ke pembiayaan ekonomi hijau yang berkelanjutan, maka harus paralel dengan di sektor energi. "Kalau Indonesia masih menggunakan energi fosil seperti batu bara yang polutif untuk pembangkit listrik, jangan sampai jika nanti pemerintah mengeluarkan green bond atau green sukuk lagi, tidak laku karena tidak ada keseriusan untuk mengurangi polusi," katanya.

Menurutnya, pemerintah harus serius melakukan transisi energi dengan energi baru terbarukan (EBT). Sebab, energi fosil yang masih banyak digunakan saat ini berkontribusi besar terhadap emisi gas karbon dan investasinya jauh lebih mahal.

Baca Juga: