» Dalam kondisi krisis pangan, negara yang punya uang sekalipun tidak bisa membeli kebutuhannya.

» Kebergantungan pada impor yang besar karena oknum rent seeking merampok devisa negara.

JAKARTA - Momentum Presiden Joko Widodo (Jokowi) menanam langsung jagung di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, pada Selasa (23/11), semestinya disambut gembira oleh jajaran menteri dan dipahami sebagai bentuk komitmen Kepala Negara mengupayakan swasembada pangan.

Presiden secara simbolis mengajak semua komponen bahwa semua jenis tanaman pangan, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula bisa dikembangkan di Indonesia, tanpa perlu mengimpor dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan.

Apalagi, Organisasi Pangan Dunia (FAO) sudah berkali-kali mengingatkan akan ancaman krisis pangan global, sehingga negara importir seperti Indonesia yang sudah mengimpor pangan hingga 15 miliar dollar AS harus waspada.

Dalam kondisi krisis pangan, negara yang punya uang sekalipun tidak bisa membeli kebutuhannya. Negara produsen dipastikan akan menahan produksinya karena memprioritaskan kebutuhan rakyatnya. Kalaupun ada surplus, mereka akan mengekspor ke negara-negara yang jadi aliansi terdekatnya.

Begitu krisis, harga pangan akan melonjak dan hanya negara yang punya cadangan devisa kuat yang mampu membeli dengan harga mahal, sedangkan yang cadangan devisanya pas-pasan seperti Indonesia tidak akan mampu.

Pengamat pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Zainal Abidin, mengatakan sebagai negara agraris dan sempat mengenyam swasembada pangan, pertanian nasional harus mendapat dukungan penuh pemerintah dan menghindari impor sebagai kebijakan jalan pintas.

"Impor bukan untuk diulang-ulang. Di masa depan, pangan menjadi senjata untuk mendominasi negara lain, makanya tidak ada negara maju yang melupakan sektor pertaniannya. Kalau negara agraris mengabaikan menanam pangan maka suatu saat mereka bisa kelaparan karena krisis pangan," kata Zainal.

Maka sangat tragis jika Indonesia harus mengalami krisis pangan karena tidak mempersiapkan diri dengan memperkuat suplai pangan nasional. Untuk membangun food security pangan dari petani Indonesia sendiri butuh waktu dua periode masa jabatan Presiden, tidak bisa mendadak.

Masalahnya, sejak krisis moneter 1998, Indonesia terus mengimpor pangan dalam jumlah lebih besar. Dari 3 miliar dollar AS menjadi 15 miliar dollar AS. Padahal, populasi tidak naik lima kali lipat, sehingga bisa disimpulkan kebergantungan impor semakin besar karena oknum rent seeking (pemburu rente) yang merampok devisa negara.

Terbentuknya Badan Pangan Nasional pun kalau tidak dijalankan dengan benar, yaitu setingkat menteri koordinator dan membawahi tujuh departemen, tidak akan optimal, padahal kemandirian pangan dan energi itu menyangkut hidup matinya satu bangsa.

"Selama ini, impor hanya menekan keuntungan petani, maka harus diatur supaya petani punya daya saing. Untuk memenuhi kebutuhan, sebaiknya fokus mengembangkan ekonomi kerakyatan dengan memberdayakan petani melalui produk-produk substitusi impor. Kemandirian pangan hanya bisa tercapai kalau petani sebagai pelaku utamanya sejahtera," kata Zainal.

Jaminan Harga

Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto, saat diminta pandangannya mengatakan kalau Presiden sudah menunjukkan komitmen mengurangi impor dengan menggenjot produktivitas petani, maka semestinya ada jaminan harga bagi petani agar termotivasi.

"Contohnya selama ini, petani jagung dikalahkan pemerintah demi peternak. Ini perlu jaminan harga di petani jagung tanpa memberatkan peternak, juga perbaikan pasar jagung sehingga tidak hanya pakan ternak, tapi juga pakan manusia," jelas Dwijono.

Secara terpisah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan kebergantungan pada impor sudah lama dan seharusnya kini bangkit menjadi negara yang kuat kedaulatan pangannya. Penguatan itu butuh komitmen politik yang tidak hanya diukur dari statement, tetapi kebijakan dan program yang sejalan. "Tentu bukti komitmen pemerintah diukur dari alokasi anggaran yang memadai," kata Said.

Pengalaman di Indonesia, kebijakan, program, dan anggaran sudah ada, namun salah sasaran terutama melakukan intervensi sehingga tidak kuat mewujudkan kedaulatan pangan.

Baca Juga: