Indonesia harus membangun rantai pasok yang tahan banting melalui berbagai inovasi dan pemanfaatan teknologi, sebagai bagian upaya mendorong pemulihan ekonomi global.

JAKARTA - Pemerintah harus memperkuat rantai pasok di dalam negeri agar daya saing industri meningkat. Terlebih lagi, dalam dua forum internasional yakni Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali dan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Bangkok masalah rantai pasok ini disoroti.

Ekonom Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan Indonesia memang harus membangun rantai pasok yang tahan banting. Meski demikian, upaya tersebut diakuinya bukan hal mudah karena untuk bisa menghasilkan produk mentahnya pun butuh sarana prasarana.

"Dibutuhkan teknologi yang tepat, misalnya pingin bikin coffee bean yang bagus, harus ada bibit, pupuk, pengetahuan dan teknologi yang tepat untuk pascapanen sehingga kopinya kualitasnya bagus," ucapnya kepada Koran Jakarta, Senin (21/11).

Kedua, lanjutnya, rantai pasok kadang bolong-bolong seperti puzzle. Artinya, jenis industri dari hulu sampai hilir perlu dilengkapi. "Banyak industri yang menghasilkan produk intermediate bisa diundang investor untuk bikin pabrik di Indonesia," ujarnya.

Ketiga, dalam membangun rantai pasok yang lengkap ini harus berdasarkan marketdriven. Jangan sampai, lanjutnya, Indonesia dapat menghasilkan produk yang tidak ada pasarnya.

"Keempat, distribusi dan logistik juga harus diperkuat jangan ada hambatan agar bisa menghasilkan produk kompetitif," terangnya.

Adapun kelima, lanjutnya, sektor transportation juga harus mendukung, biaya transportasi terjangkau. "Terakhir, infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan harus bagus," tandas dia.

Seperti diketahui, Indonesia menyerukan solusi terhadap risiko terganggunya rantai pasok global dalam pertemuan tahunan para pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (KTT APEC).

Presiden RI Joko Widodo dalam KTT tersebut menekankan dua sektor prioritas demi mendorong upaya pemulihan ekonomi global, seperti rantai pasok yang tahan banting dan kolaborasi dalam industri kreatif.

"Pertama, membangun rantai pasok yang lebih resilience (tetap teguh meski keadaan sulit). Rantai pasok pangan dan energi perlu dijaga, sumber alternatif, rute dan 'hub' logistik baru perlu didukung investasi baru," kata Presiden.

Kerja Sama Inklusif

Sementara itu, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengungkapkan paragraf ke-37 Deklarasi Para Pemimpin G20 Bali menyebutkan komitmen yang terkait dengan perdagangan, investasi dan industri, yaitu untuk memperkuat perdagangan internasional dan kerja sama investasi untuk menyelesaikan isu supply-chain, juga mencegah hambatan-hambatan perdagangan.

G20 memahami pentingnya kerja sama internasional yang inklusif dalam perdagangan digital, serta perlunya dukungan bagi peningkatan nilai tambah melalui investasi yang inklusif dan berkelanjutan di sektor-sektor produktif, seperti sektor manufaktur hilir, perdagangan digital, serta jasa. "Selain itu, menjembatani investor asing dengan perusahaan lokal, terutama yang berskala kecil dan menengah," ungkapnya.

G20 mencatat penambahan isu industri pada TIIWG sebagai inisiatif dalam Presidensi Indonesia untuk mendiskusikan koherensi kebijakan antara perdagangan, investasi, dan industri, serta untuk terus mengatasi isu-isu terkait industri dalam proses G20 yang lebih luas.

"Isu koherensi kebijakan antara perdagangan, investasi, dan industri penting untuk menghadapi tantangan ekonomi saat ini dan di masa mendatang," jelas Menperin.

Baca Juga: