Industri manufaktur seharusnya menciptakan jaringan industri nasional yang kuat dan mandiri.

JAKARTA - Indonesia harus mulai memproduksi sendiri bahan baku/penolong dan barang modal industri, meskipun telah mendapat kemudahan impor dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Larangan Pembatasan (Lartas) Barang Impor.

Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan jika belum bisa mengurangi impor maka secara perlahan harus memproduksi barang substitusi impor, agar bahan baku impor yang dibutuhkan industri manufaktur secara perlahan bisa diganti barang substitusi dari lokal.

Esther kepada Antara di Jakarta, baru-baru ini, mengatakan sebagian besar bahan baku untuk industri manufaktur saat ini masih bergantung dari Tiongkok. Dengan adanya lartas barang impor dinilai sebagai salah satu upaya agar Indonesia tidak lagi dibanjiri dengan barang-barang luar negeri yang dianggap mengganggu industri lokal.

Namun demikian, Esther menyampaikan pengurangan impor tidak bisa dikurangi secara langsung, perlu ada langkah-langkah yang dilakukan secara bertahap.

"Dikurangi perlahan-lahan, baru disiapkan secara paralel produksi substitusi bahan baku impor, biar kalau mau mengurangi impor itu enggak langsung stop, tetapi ada tahapannya," kata Esther.

Dia pun mendorong pemerintah lebih mendorong investor asing untuk memproduksi bahan baku di Indonesia dengan memberikan berbagai kemudahan seperti insentif dan kebijakan lainnya.

Menurutnya, industri tekstil Indonesia sempat menjadi favorit dunia pada tahun 1990-an. Ia optimistis hal itu dapat diraih kembali oleh Indonesia jika mampu produksi bahan baku sendiri. "Industri ini kalau enggak digarap serius, nanti mati kita. Karena industri ini penciptaan lapangan pekerjaannya cukup besar dan bisa menjadi penopang ekspor. Kalau kita impor terus, kan irisan ke negaranya kecil," jelasnya.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) sendiri baru saja menerbitkan Permendag 8/2024 yang ditujukan untuk mengatasi sejumlah persoalan akibat pemberlakuan Permendag 36/2023 jo 3/2024 jo 7/2024 yang melakukan pengetatan impor dan penambahan persyaratan perizinan impor berupa peraturan teknis (pertek).

Permendag itu dinilai oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) lebih efektif dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, lantaran terdapat relaksasi bagi tujuh kelompok barang dan sejumlah komoditas.

Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan Permendag 8/2024 menyederhanakan ketentuan prosedur impor, terutama dalam mengatasi sejumlah kendala perizinan impor yang mengakibatkan penumpukan kontainer di pelabuhan.

Timbulkan Kebergantungan

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, mengatakan strategi industrialisasi terutama dalam industri pengolahan atau manufaktur seharusnya menciptakan jaringan industrialiasi nasional yang kuat dan mandiri.

Kemandirian ditunjukkan dengan membangun industri pengolahan yang berbasis kepada input atau bahan baku yang dihasilkan di dalam negeri. "Jika sudah terlanjur menggunakan input impor, jelas menyebabkan ketergantungan terhadap negara lain," tegas Suhartoko.

Untuk itu, secara bertahap harus direncanakan dan didorong menghasilkan input substitusi impor. Namun demikian, tetap harus dilakukan secara hati-hati, melihat pengalaman negara-negara di Amerika Selatan yang gagal melakukannya karena membutuhkan banyak investasi dan memboroskan devisa.

"Momentum hilirisasi yang telah digagas pemerintah menjadi pendorong untuk melakukan kajian dan perencanaan industri secara komprehensif, tepat, dan terarah untuk mempercepat kesejahteraan dan keadilan masyarakat," ungkap Suhartoko.

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan meskipun tidak mudah, tapi dengan memproduksi sendiri bahan baku penolong akan membantu mengatasi tekanan yang muncul karena tren suku bunga ketat yang diterapkan bank-bank sentral dunia.

"Cara ini memang lebih sulit, tapi dapat untuk menambah devisa karena nilai komposisi impor bahan baku penolong kita cukup besar di atas 50 persen. Selain itu, BI juga harus bisa mengelola ekspektasi pemegang dana terutama valas. Kalau mereka berspekulasi menekan rupiah, makin buruk keadaannya," pungkasnya.

Baca Juga: