Digitalisasi, perubahan iklim, dan pandemi Covid-19 mengakibatkan dunia terbelah antara kelompok kaya dan kelompok marginal sehingga akan mengubah struktur perekonomian nasional ke depan.

JAKARTA - Pemerintah perlu meninggalkan model pertumbuhan yang primitif dengan mengandalkan eksploitasi sumber daya alam (SDA). Belajar dari kondisi sekarang, pertumbuhan ekonomi negara maju jauh lebih cepat saat pandemi Covid-19 ketimbang negara berpendapatan menengah dan rendah. Hal itu karena negara maju melakukan perubahan ekonomi secara radikal.

Ekonom Senior, Fadhil Hasan, melihat tiga disrupsi besar sedang melanda dunia dan mengakibatkan dunia yang terbelah antara kelompok kaya dan kelompok marginal. Itu akan mengubah struktur perekonomian nasional ke depan.

Pertama, digitalisasi ekonomi didorong oleh perkembangan teknologi informasi (IT), kecerdasan buatan (AI), robotic, automatisasi, dan internet of things. Kedua, perubahan iklim dan pemanasan global akibat dari ekspoitasi sumber daya yang tidak bertanggung jawab dan berkelanjutan. Ketiga, pandemi Covid- 19 yang mengubah tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat ke depan.

"Apabila pemerintah tak mampu mengelola tiga disrupsi ini maka kita akan lebih lambat pulih dibanding negara-negara kuat," tegas Fadhil dalam diskusi di Jakarta, Jumat (3/9).

Kini semua negara, kata dia, sedang menata kembali perekonomiannya menghadapi tiga disrupsi besar dalam kehidupan manusia. Selama ini, negara tersebut telah memiliki basis perekonomian yang solid, kuat, dan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi disertai sumber daya manusia yang berkualitas relatif lebih siap merespons disrupsi ini dan akan keluar dari krisis akibat pandemi ini dengan lebih cepat dan berkelanjutan.

Negara kuat memiliki kemampuan beradaptasi dan perencanaan yang matang. Negara-negara ini mengambil langkah yang radikal, terencana, dan besar. Beberapa di antaranya adalah pembangunan ekosistem dan infrastruktur IT dan melakukan investasi di bidang R&D dalam skala yang besar.

Negara yang mengandalkan pada perekonomian primitif SDA dan tertinggal dalam pengetahuan akan memiliki pertumbuhan yang jauh tertinggal. Ketimpangan antarkedua negara tersebut akan sangat besar. Dengan demikian, dalam tataran global ketimpangan perekonomian akan semakin meningkat dan menguat.

Paradigma Baru Untuk menghindari ketimpangan lebih besar lagi, Indonesia perlu paradigma ekonomi baru di antaranya reformasi struktural ekonomi global dan nasional dengan melibatkan komunitas dan keadilan. Agar hal ini tidak terjadi dan untuk memastikan disrupsi ini membawa manfaat sosial ekonomi bagi semua maka diperlukan berbagai langkah dan reformasi struktural perekonomian global dan nasional.

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengatakan paradigma ekonomi baru yang memperkecil gap ketimpangan manakala ekonomi dibangun bukan selalu melibatkan pemilik modal (shareholders), namun juga melibatkan komunitas pemangku kepentingan (stakeholders).

"Paradigma ekonomi baru yang diperlukan untuk keluar dari jebakan ketimpangan adalah menempatkan shareholder (pemilik modal) setara dengan komunitas pemangku kepentingan (stakeholders)," ujar Achmat Nur.

Baca Juga: