JAKARTA - Indonesia (RI) harus mengantisipasi lonjakan harga pangan impor dengan mempercepat substitusi ke produk-produk lokal. Pengajar Fakultas Kesehatan dan Pertanian Universitas Katolik (Unika) Santo Paulus Ruteng Nusa Tenggara Timur (NTT), Yohanes Jakri, meminta pemerintah untuk secepatnya melakukan diversifikasi pangan karena sumber daya pangan lokal bisa diandalkan untuk mengurangi kebergantungan impor pangan.

"Kita impor gandum dari Ukraina. Sebenarnya, kita bisa menggantinya dengan tepung mocaf yang bersumber dari singkong. Mocaf bisa mensubstitusi gandum untuk dijadikan tepung terigu dan bahan baku berbagai penganan," kata Yohanes.

Mocaf, jelasnya, memiliki keunggulan dengan cita rasa setara terigu dan beraroma.

Mocaf merupakan produk olahan terbaru dari singkong (Manihot esculenta). Mocaf bisa mengganti kebutuhan tepung gandum yang selama ini masih diimpor.

Untuk membuat sekilo mi misalnya, mocaf mensubstitusi 50 persen tepung gandum atau terigu. Sementara untuk membuat kue, terigu bisa digantikan seluruhnya oleh mocaf. Oleh karena itu, dia mengimbau pemerintah segera mengurangi kebergantungan impor pangan agar devisa tidak terkuras untuk impor.

"Dengan pangan lokal, harga pangan dalam negeri tidak rentan bergejolak ketika di pasar internasional ada distabilitas harga dan pasokan," kata Yohanes.

Sebelumnya, Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Agus Edi Siregar, mengatakan invasi Russia ke Ukraina berpotensi memicu kenaikan harga pangan dalam negeri, terutama komoditas yang banyak diimpor dari negara tersebut. Berdasarkan data, Ukraina merupakan salah satu negara pemasok utama gandum ke Indonesia. Gandum dan produk turunannya tercatat menyumbang 8,5 persen dari total kebutuhan pangan di Indonesia.

Dia mengatakan selain pangan, harga energi juga berpotensi melonjak karena harga minyak dunia terus merangkak naik.

"Harga komoditas yang terus naik setelah konflik ini akan mengurangi potensi produksi pangan global sehingga harga pangan mungkin naik lebih lanjut," kata Agus.

Dengan kondisi tersebut, pemerintah akan berupaya menahan kenaikan administered price atau barang/jasa yang harganya diatur pemerintah, meskipun pada 2023 defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diharapkan kembali kurang dari 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

"Kalau inflasi sudah terjadi karena harga pangan naik, diharapkan pemerintah tidak menaikkan harga administered price, tapi ini menjadi dilema," katanya.

Hambat Distribusi

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan saat ini suplai belum terganggu, tetapi konflik antara Ukraina dan Russia sudah menimbulkan kekhawatiran di pasar berjangka. Pertama, dikhawatirkan perang yang berlarut-larut akan menghambat distribusi. Kedua, sanksi-sanksi dari Eropa dan Amerika Serikat akan menghambat suplai minyak itu sendiri, yang salah satunya berasal dari Russia.

"Kekhawatiran lonjakan selama ketidakpastian konflik ini membuat negara-negara membeli lebih banyak dari kebutuhan, misalnya untuk tiga bulan ke depan. Ini membuat harga minyak akan semakin naik, dan dampak agregatnya sangat luas. Sebagai net importir yang ekspor minyaknya lebih kecil daripada impor, Indonesia akan tertekan," kata Imron.

Kondisi tersebut, kata Imron, kalau terus berlanjut akan membebani belanja negara, terutama subsidi minyak yang harus dibayar pemerintah ke Pertamina.

Baca Juga: