JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus berupaya mengatasi hambatan pasar luar negeri. Selain dalam bentuk kebijakan, upaya diplomasi secara intensif dilakukan agar produk dan komoditas RI menembus pasar global.
Berbagai upaya ini terus dilakukan sebab sejak 1995 Indonesia terlibat dalam 79 kasus sengketa dagang di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Hingga kini sebanyak 33 kasus masih aktif, empat kasus sebagai tergugat, empat kasus sebagai penggugat, dan 26 kasus sebagai pihak ketiga.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan mengatakan, untuk perdagangan luar negeri, pemerintah melaksanakan langkah diplomasi agar hambatan perdagangan dengan negara mitra segera diselesaikan. Pemerintah melakukan diplomasi agar hambatan perdagangan bisa diselesaikan dengan baik.
"Selain itu, Indonesia saat ini berperan aktif di berbagai fora perdagangan internasional untuk meningkatkan nilai ekspor dan memberikan insentif bagi pelaku ekonomi nasional," imbuhnya dalam acara Trade Corner Special Dialogue CNBC Indonesia Strategi dan Optimisme Kebijakan Perdagangan Luar Negeri hingga Tantangan di WTO di Jakarta, Kamis (29/8).
Mendag menjelaskan Indonesia telah menyelesaikan perjanjian dagang dengan 26 negara/ ekonomi dan 45 negara yang masih dalam proses perundingan. Mitra dagang utama Indonesia juga bergeser dari negara G7 ke negara berkembang (Tiongkok, India, Pakistan, Bangladesh, Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, Nigeria, Arab Saudi, Vietnam, dan Filipina).
Pergeseran ini didorong oleh pemberian modal, teknologi, dan rantai pasok dari negara non-G7 seperti Tiongkok, serta kebijakan unilateral Uni Eropa yang menghambat laju perdagangan. Saat ini, Indonesia baru saja menandatangani Protokol Perubahan Perjanjian Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (EPA) serta meluncurkan perundingan Indonesia-Gulf Cooperation Council (GCC) Free Trade Agreement.
Banyak Gugatan
Staf Khusus Mendag Bidang Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan menambahkan, Indonesia saat ini digugat oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia. Indonesia juga sedang menggugat Uni Eropa (UE), Amerika Serikat, dan Australia. "UE menjadi negara terbanyak yang dihadapi Indonesia," urai Bara.
Bara mengungkapkan Indonesia juga dihadapkan dengan kebijakan Uni Eropa yaitu European Green Deal, European Union Deforestation Regulation (EUDR), Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang merugikan karena mengatur ekspor komoditas utama Indonesia, seperti kopi, coklat, kayu, karet, dan minyak sawit.
Berbagai syarat perlu dipenuhi oleh pengekspor yang akan melakukan ekspor ke Uni Eropa. Kebijakan tersebut akan berlaku secara penuh pada akhir 2024 dan akan membebani eksportir Indonesia yang memiliki buyer di UE.
"Dalam menghadapi sengketa dagang dengan negara mitra, Indonesia memaksimalkan kesempatan penyampaian argumen gugatan dan argumen pembelaan disertai bukti, serta berpartisipasi aktif pada persidangan. Tujuannya agar argumen dan/ atau pembelaan Indonesia tersebut dapat diterima," pungkas Bara.