JAKARTA - Kemudahan akses terhadap sumber ekonomi diperlukan untuk mencapai pemulihan yang lebih kuat. Karena itu, sebagai Presidensi G20, Indonesia mendorong kolaborasi secara inklusif antar-anggota.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan setiap negara, setiap warga negara, termasuk kelompok rentan harus mendapat manfaat dari kebijakan tindakan dan rekomendasi G20.

"Peran dan kolaborasi internasional menjadi lebih substansial, kepemimpinan multikultural dan organisasi internasional memainkan peran penting dalam memastikan pemulihan global yang inklusif," ucapnya saat menyampaikan keynote speech pada UI International Conference on G20 Day 2, di Jakarta, Kamis (16/6).

Airlangga menyampaikan, saat ini dunia tengah menghadapi lima krisis yang disebut 5C (five crisis). C pertama adalah Covid-19, kedua Conflict Ukraina dan Russia yang berdampak pada harga energi dan pangan, ketiga Climate Change atau perubahan iklim, lalu Commodity Prices terutama pada harga minyak, metal dan minyak sawit yang mendorong inflasi di berbagai negara.

Krisis lain adalah Cost of Living yang menyebabkan sejumlah negara kesulitan untuk menyediakan makanan baku bahkan makanan pokok, seperti di Eropa. Selain itu, semakin banyak negara yang cenderung lebih memproteksi diri untuk memastikan kecukupan di negerinya masing-masing.

Saat ini ada 14 negara yang telah memutuskan untuk tidak lagi mengekspor produk-produk bahan pokok seperti ayam dan gula akibat ketidakstabilan rantai pasok,sehingga dunia harus bersiap mengenai potensi swasembada produksi pangan di 2023.

"Kita dapat sepenuhnya menyadari bahwa saat ini sangat diperlukan keseimbangan antarnegara agar tidak ada satupun negara yang tertinggal dan tuntutan dari Presidensi G20 untuk memobilisasi dan mengerahkan upaya dan tindakan global," ujarnya.

Komitmen Global

Karena itu, melalui G20 Summit di Bali pada November mendatang, Airlangga meminta negara-negara anggota G20 untuk bergabung dengan Indonesia mewujudkan komitmen global menuju pemulihan hijau, berkelanjutan dan inklusif.

Dia menuturkan pada banyak forum termasuk forum ekonomi di Davos dan Singapura, isu transisi energi terus menjadi pembahasan. Bukan hanya terbatas pada transisi energi, namun juga upaya untuk menghasilkan energy security yang terjangkau bagi banyak negara. Indonesia juga menyambut baik universitas dan pakar untuk memberikan berbagai masukan pada berbagai pertemuan Sherpa sebagai perwujudan dari kolaborasi konkrit antara pembuat kebijakan dengan akademisi dan peneliti.

"Kita harus mengimplementasikan kebijakan di sektor riil dan juga mengurangi kesenjangan antara konsep dan implementasi. Tentu saja, kemitraan global sangat dibutuhkan tidak hanya untuk pendidikan dan pengetahuan namun juga untuk mendukung Presidensi G20 Indonesia," kata Airlangga.

Baca Juga: