JAKARTA - Hasil kesepakatan pertemuan masalah iklim COP-26 di Glasgow beberapa waktu lalu menyepakati untuk semakin meningkatkan permintaan global akan kredit karbon, sehingga membuat harga jual karbon menjadi lebih tinggi.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam keterangan tertulisnya mengatakan Indonesia yang memiliki hutan dan lautan yang luas berpotensi menghasilkan kredit karbon yang dapat ditransaksikan di tingkat global untuk pencapaian target penurunan emisi di banyak negara.

"Pertemuan G20 dapat digunakan untuk melakukan kerja sama ini dengan negara-negara maju," kata Airlangga.

Indonesia, jelasnya, memiliki potensi pendapatan sebesar 565,9 miliar dollar AS atau setara dengan 8.000 triliun rupiah dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove, dan gambut.

Lebih lanjut dikatakan, ada lima sektor penyumbang emisi karbon, yaitu kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk. Berbagai kebijakan, paparnya, telah disiapkan untuk menanggulangi emisi karbon di berbagai sektor tersebut.

Kebijakan di bidang pertanahan, antara lain restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan pencegahan deforestasi menjadi lahan pertanian. Kebijakan di bidang persampahan, termasuk pengelolaan sampah melalui ekonomi sirkular.

Sedangkan kebijakan di sektor fiskal mencakup penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi energi secara menyeluruh pada tahun 2030. Kebijakan yang diterapkan di bidang energi dan transportasi, misalnya dengan beralih ke kendaraan listrik hingga 95 persen dari total kendaraan dan menggunakan energi baru dan terbarukan mendekati 100 persen pada 2060.

Berkaitan dengan energi baru dan terbarukan (EBT), Indonesia telah menerapkan program mandatori biodiesel B30. Mandatori biodiesel itu akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 23,3 juta ton CO2e (carbon dioxyde equivalent). "Program tersebut telah berhasil meningkatkan penggunaan energi terbarukan, mengurangi emisi karbon, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani kecil," kata Airlangga.

Membantu Bisnis

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan dunia sedang bergerak menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan membatasi kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celsius.

Salah satu yang bisa membantu penurunan emisi adalah lahan dan hutan yang menyerap emisi karbon (carbon sink) dan menahan emisi tidak terpapar ke atmosfer.

Potensi hutan, lahan, mangrove untuk menjaga emisi GRK dan menyerap emisi GRK cukup besar.

"Potensi ini bisa dipakai untuk membantu bisnis yang memiliki target untuk menurunkan emisi drastis dan mencapai netral karbon," kata Fabby.

Emisi GRK dari perlindungan/ konservasi hutan dan lahan sudah lazim diperdagangkan melalui skema voluntary carbon market.

Beberapa kawasan hutan di Indonesia sudah ikut dalam skema itu sehingga perlu memperhatikan pengelolaan yang lestari dan tidak sekadar menjual karbonnya.

Baca Juga: