Indonesia dapat mengoptimalkan peran liquified petroleum gas (LNG) atau gas alam cair yang produksinya diprediksi meningkat pada 2028.

JAKARTA - Potensi gas bumi Indonesia cukup menjanjikan dengan cadangan terbukti sekitar 41,62 trillion cubic feet (TCF). Meskipun cadangannya tak signifikan dibandingkan stok dunia, Indonesia masih memiliki 68 cekungan potensial belum tereksplorasi yang ditawarkan kepada investor.

Berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2022-2030, Indonesia akan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dari lapangan migas yang ada. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia juga diperkirakan mengalami surplus gas hingga 1715 million standard cubic feet per day (MMSCFD) dari beberapa proyek potensial.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, menyatakan Indonesia dapat mengoptimalkan peran liquified petroleum gas (LNG) atau gas alam cair. "Seperti yang diproyeksikan dalam Neraca LNG Indonesia, akan ada peningkatan produksi LNG pada 2028. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia akan mengalami surplus gas hingga 1.715 MMSCFD yang berasal dari beberapa proyek potensial di berbagai wilayah Indonesia," papar saat acara Workshop Exploring Short-term Solutions to The Global Gas Crisis di Jakarta, Senin (29/8).

Proyek tersebut meliputi Masela yang diharapkan dapat mendukung produksi LNG Bontang. Selain itu, Wilayah Kerja Andaman dan Agung yang diharapkan bisa berkontribusi dalam jangka panjang.

Tutuka memaparkan produksi LNG Bontang pada 2026 diperkirakan 27,7 kargo. Pada tahun berikutnya, produksi akan meningkat menjadi 56,2 kargo. Sejak selesainya ekspor LNG jangka panjang pada 2025, semua produksi LNG diharapkan belum terkontrak. Sementara untuk produksi dari Blok Masela, diperkirakan pada 2028, produksi LNG diperkirakan sekitar 149,2 kargo dan hingga 2035 produksinya relatif stabil.

Sebanyak 64,3 persen produksi gas Indonesia pada tahun 2021, digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan. total gas yang disalurkan adalah 5.734,43 billion bristh thermal unit per day (BBTUD). Dari jumlah tersebut, sebesar 27,45 persen untuk kebutuhan industri, ekspor berupa LNG sebesar 22,18 persen, pupuk 12,08 persen, ekspor 13,14 persen dan listrik 11,90 persen.

"Indonesia juga memanfaatkan gas untuk kebutuhan domestik LNG dan liquified petroleum gas (LPG) masing-masing sebesar 8,56 persen dan 1,56 persen. Sebagian kecil dari sisa konsumsi adalah untuk gas kota dan gas untuk bahan bakar transportasi," jelasnya.

Terkait ekspor LNG, lanjut dia, Indonesia mengekspor LNG ke beberapa negara, dengan total volume ekspor 459,55 juta MMBTU pada tahun 2021. Untuk LNG hulu, China merupakan importir terbesar LNG Indonesia dengan volume 251,82 juta metric million british thermal unit (MMBTU), diikuti Republik Korea sebesar 80,23 juta MMBTU dan Jepang sebesar 63,76 juta MMBTU. Sedangkan di hilir LNG, Indonesia mengekspor total 110,98 juta MMBTU dengan tujuan utama Jepang, Republik Korea dan China Taipei.

Harga Kompetitif

Dalam kesempatan terpisah, Pengamat Energi Mamit Setiawan meminta pemerintah memperhatikan industri hulu migas. Sebab, sektor ini masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional, dan sebagai sumber penerimaan negara.

Mamit mengusulkan agar harga gas untuk industri dievaluasi supaya industri hulu tetap bergairah. "Harga 6 dollar AS per metric million british thermal unit (MMBTU) itu harus berkeadilan, harus disesuaikan dengan kenaikan harga gas global. Bagusnya dinaikan jadi 7 dollar AS per MMBTU," pungkasnya.

Baca Juga: