JAKARTA - Pemerintah Indonesia akan mengajukan proposal perjanjian perdagangan bebas terbatas atau limited free trade agreement (FTA) dengan Pemerintah Amerika Serikat (AS) atas diskriminasi pajak untuk produk mineral kritis RI yang tertuang dalam Inflation Reduction Act (IRA).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meyakini Indonesia punya daya tawar tinggi untuk mengajukan perjanjian perdagangan bebas terbatas karena memiliki keunggulan sumber daya mineral yang dibutuhkan dalam pengembangan kendaraan listrik.

"Salah satu yang kita bicarakan itu karena kalau tidak, mereka rugi juga, karena dengan green energy yang kita punya untuk memproses prekursor, katoda, ya mereka nggak dapat dari Indonesia karena kita nggak punya FTA dengan mereka. Sekarang kita usulin limited free trade agreement dengan mereka," katanya dalam konferensi pers update kerja sama Indonesia-Tiongkok di Jakarta, Senin (10/4).

Luhut rencananya akan terbang ke AS pada Selasa (11/4) untuk melakukan negosiasi terkait kebijakan tersebut. Tak hanya bernegosiasi dengan pemerintah AS, Luhut beserta rombongan juga berencana untuk bertemu dengan dua pabrikan otomotif AS yaitu Tesla dan Ford.

Luhut menambahkan pengajuan limited FTA dilakukan mengikuti langkah Jepang untuk mengamankan investasi mineral kritis dengan AS di bawah kerangka IRA. Namun, Luhut memastikan pengajuan limited FTA nantinya juga tergantung animo AS terhadap produk mineral kritis Indonesia.

Alasan Utama

Deputi Bidang Koordinasi Pertambangan dan Investasi Kemenko Marves Septian Hario Seto mengungkapkan limited FTA yang diajukan nantinya dikhususkan untuk perdagangan mineral kritis.

Dia menambahkan alasan utama Indonesia tidak masuk kriteria IRA yakni karena Indonesia tidak memiliki perjanjian perdagangan dengan AS.

"Hanya ada 17 negara yang punya FTA dengan AS Banyak sekali negara yang tidak punya. Jadi yang nggak punya (FTA), nggak eligible untuk IRA," tutur Seto.

Sebelumnya, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mendesak Amerika Serikat (AS) memberikan perlakuan yang adil dalam pemberian subsidi hijau bagi mineral untuk kendaraan listrik.

Keprihatinan itu disampaikan Arsjad atas 'pengucilan' terhadap mineral kritis Indonesia dari paket subsidi Amerika Serikat untuk teknologi hijau. Pemerintah AS akan menerbitkan pedoman kredit pajak bagi produsen baterai dan EV di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang mencakup 370 miliar dolar AS dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.

Namun, baterai yang mengandung komponen sumber Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak Inflation Reduction Rate (IRA) secara penuh, karena Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan Tiongkok dalam industri nikel.

Baca Juga: