Rentannya ekonomi Indonesia dipengaruhi besar oleh maraknya impor pangan hingga bahan baku dan barang konsumsi.

JAKARTA - Indonesia lupa membangun kemandirian ekonomi, akibatnya begitu terjadi gejolak geopolitik, RI rentan terdampak. Pemerintah lupa membangun kemandirian, baik energi, pangan, maupun bahan baku dan produk-produk hasil industri.

Fenomena tersebut nyata terjadi saat ini. Ketika kawasan Timur Tengah bergejolak akibat konflik Iran dan Israel, pasokan minyak untuk kebutuhan domestik kita terganggu. Pemerintah terpaksa harus bermanuver mencari sumber impor baru.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan fluktuasi harga minyak menyebabkan biaya produksi energi menjadi tidak pasti dalam jangka panjang.

"Harusnya kan belajar dari setiap minyak mahal, bengkak subsidinya dan ruang fiskal jadi sempit plus BUMN keuangan tertekan. Tetapi, upaya untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) juga belum optimal, masih sedikit investasi dari APBN langsung untuk instalasi EBT. Banyak hal luput dan berakibat fundamental ekonomi rapuh,"ucapnya pada Koran Jakarta, Minggu (21/4).

Tak hanya sektor energi, rentannya ekonomi di Indonesia secara eksternal juga tidak terlepas dari besarnya kebutuhan impor pangan hingga bahan baku dan barang konsumsi lainnya.

"Impor beras empat juta ton, gula 5,4 juta ton dan berbagai produk pangan lain terlalu dominan impornya. Masalahnya impor kalau barangnya mahal, bayarnya pakai dollar AS justru makin menurunkan kekuatan rupiah," ungkap Bhima.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, dari Yogyakarta. Dia mengatakan banyak hal yang membuat kita tidak kunjung mencapai kemandirian ekonomi.

"Transformasi sosial ekonomi kita yang masih terkendala berbagai problem struktural, khususnya ekonomi politik di berbagai sektor yang masih sarat dengan kepentingan oligarki global dan domestik," tegasnya.

Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan dampak perang Iran-Israel akan berdampak pada situasi dunia seperti sektor energi dan ekonomi secara umum. Masyarakat tentu bertanya-tanya apa upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi ketidakstabilan dunia.

"Sementara kita tahu, sebelum perang Iran-Israel, masyarakat Indonesia sudah menghadapi situasi yang pelik terutama di sektor pangan. Mahalnya harga beras, dan kebutuhan pokok," urainya.

Sektor industri pengolahan (manufaktur), data BPS (2023) berkontribusi 18,6+ persen dari total perekonomian Indonesia.

Disektor energi, masyarakat juga dihadapkan pada situasi harga BBM yang mengalami kenaikan. Sisi lain, ketergantungan energi pada fosil masih sangat tinggi. Data Dewan Energi Nasional (DEN) menunjukkan batu bara masih mendominasi. Sementara itu, bauran EBT pada tahun 2023 hanya tercapai 13,09 pedsen sedangkan target yang di patok 17,87 persen.

"Berkaca pada data yang ada, pemerintah perlu menyusun strategi kebijakan dalam menyikapi kondisi dunia yang terdampak perang Iran-Israel, terutama memperkuat ketahanan pangan melalui penguatan produksi dalam negeri," ujar Badiul.

Cadangan Pangan

Khusus terkait pangan, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menyampaikan beberapa langkah antisipasi serta solusi demi menjaga harga pangan di Indonesia di tengah kondisi geopolitik global.

"Solusinya adalah kita perlu cadangan pangan pemerintah, solusinya kita perlu menyiapkan pascapanen mendukung apa yang dikerjakan Menteri Pertanian," ungkap Arief.

Anggota Komisi I DPR, Sukamta, menegaskan secara ekonomi, efek dari perang tersebut akan segera terasa. Dimulai dari harga minyak yang akan naik dan juga akan diikuti dengan kenaikan nilai tukar dollar, di luar yang sekarang terjadi karena the Fed menaikkan suku bunga.

"Jadi nanti kalau dikombinasi dengan instabilitas di kawasan Timur Tengah dan juga kenaikan harga minyak, pasti sangat serius dampaknya bagi ekonomi negara-negara lain termasuk Indonesia," tandasnya. n ers/and

Baca Juga: