Revisi permen ESDM tentang PLTS atap makin mempersulit pemerintah mencapai target kapasitas PLTS atap sebesar 3.610 megawatt (MW) pada 2025.
JAKARTA - Komunitas Startup Teknologi Energi Bersih (KSTEB) menilai usulan perubahan Permen ESDM No 26 Tahun 2021 tentang Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap akan mematikan bisnis perusahaan rintisan alias startup PLTS atap secara langsung.
Adapun beleid yang hendak direvisi itu tentang Sistem PLTS Atap yang Terhubung dengan Jaringan Pemegang IUPTLU (Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum).
"Adanya perubahan pada permen ESDM tentang PLTS atap akan membunuh startup PLTS atap, terutama seperti BTI Energy yang mayoritas pelanggannya adalah pelanggan residensial," ujar anggota KSTEB, Erlangga Bayu Rahmanda, di Jakarta, Rabu (11/1).
Erlangga yang merupakan founder BTI Energy itu menerangkan, dalam jangka panjang, kondisi ini juga akan berimplikasi negatif pada ekosistem startup PLTS atap di Indonesia. Kebijakan energi yang tidak suportif akan menurunkan minat calon pengusaha untuk merintis usaha di sektor ini.
KSTEB juga menyayangkan usulan perubahan kebijakan ini karena akan makin mempersulit pemerintah mencapai target kapasitas PLTS atap di Indonesia sebesar 3.610 megawatt (MW) pada 2025. Sebagai catatan, per November 2022, kapasitas terpasang PLTS atap di Indonesia hanya mencapai 77,6 MW atau jauh dari target pemerintah.
Terkait tidak adanya pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100 persen daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem, KSTEB juga mempertanyakaan transparansi data kuota per sistem yang hanya dapat diakses PLN. Keterbukaan data sangat penting untuk menghindari upaya penghambatan instalasi PLTS atap yang mengatasnamakan kuota sistem yang sudah penuh.
Anggota lain KSTEB, Amarangga Lubis menerangkan revisi Permen akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, terutama untuk pasar pelanggan residensial.
Dia menegaskan peniadaan skema ekspor listrik akan menurunkan nilai keekonomian PLTS atap dengan jumlah penghematan tagihan listrik menjadi lebih kecil dan masa pengembalian modal atau payback period menjadi lebih panjang.
Amarangga menyatakan peniadaan skema ekspor-impor akan mengurangi minat calon pelanggan PLTS atap. "Concern utama dari usulan perubahan ini adalah hilangnya kilowatt hour (kWh) meter ekspor-impor akan mengubah minat customer dan berdampak pada total market yang tersedia," kata Amarangga.
Amarangga khawatir akan terjadi penyelewangan sistem apabila data kuota sistem tidak terbuka ke publik. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa definisi teknis kuota sistem perlu diperjelas. "Saya khawatir kuota sistem akan disesuaikan dengan kebutuhan PLN sebagai utility company," ungkapnya.
Optimalkan Program
Seperti diketahui, Kementerian ESDM telah meminta masukan atau public hearing mengenai usulan perubahan Permen ESDM No.26 tahun 2021 kemarin. Hendra Iswahyudi, selaku Plh. Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM menyampaikan revisi Permen ini untuk mengoptimalkan percepatan implementasi program PLTS atap nasional dan memberikan insentif berupa tidak dikenakannya lagi biaya operasi pararel.
Selain itu, melalui revisi regulasi yang mengatur tentang PLTS atap, diharapkan dapat memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk memasang PLTS atap dengan tidak diberlakukannya batasan kapasitas sepanjang masih tersedia kuota pengembangan PLTS atap.
"Capaian pada November 2022, jumlah pelanggan PLTS Atap mencapai 6.461 Pelanggan dengan total kapasitas mencapai 77,60 mega watt peak (MWp). Sepanjang 2022 kenaikan rata-rata per bulan sebesar 2,4 MW dan 138 pelanggan. Tentu ini perlu upaya lebih agar sesuai target," ujarnya. N