Restrukturisasi utang sangat membantu negara debitur agar dapat fokus menggunakan sumber dayanya untuk penanganan krisis akibat pandemi dan antisipasi dampak risiko resesi global.

JAKARTA - Pemerintah perlu terus mengadvokasi penundaan pembayaran utang terhadap negara kreditur untuk menghindari potensi resesi tahun depan. Kendatipun konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 telah berakhir, tetapi upaya memperjuangkan kepentingan nasional tak boleh kendur.

Peneliti Ekonomi Celios, Muhammad Akbar, menegaskan Indonesia perlu mengadvokasikan penundaan pembayaran utang luar negeri, seperti utang kepada Tiongkok, agar bisa lebih cepat memulihkan ekonomi. "Dana yang seharusnya untuk membayar bunga utang bisa dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri," ucap Akbar kepada Koran Jakarta, Kamis (8/12).

Seperti diketahui, negara dengan pendapatan rendah dan menengah atau Low and Middle Income Countries (LMIC) pada Maret 2020 hingga Desember 2021 mendapatkan bantuan bernama Debt Service Suspension Initiatives (DSSI) dari negara kreditur yang didukung Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Dia menjelaskan restrukturisasi utang sangat membantu negara miskin. Tujuannya agar negara LMIC dapat fokus menggunakan sumber dayanya untuk penanganan krisis karena pandemi. Sehingga, negara LMIC yang mendapat bantuan ini dapat menunda pembayarannya utangnya, tetapi bukan berarti hutangnya dihapus.

Ketika program ini selesai pada Desember 2021, negara LMIC ini masih kesulitan karena belum sepenuhnya bangkit dari pandemi. Ditambah lagi, diprediksi akan ada resesi global yang membuat negara LMIC ini semakin terpuruk.

Beberapa pihak, salah satunya dari Bank Dunia menyerukan untuk membantu negara-negara yang sangat terdampak itu. "Harapannya restrukturisasi utang ini dapat memberikan keringanan lagi untuk negara-negara LMIC," ungkap Akbar.

Tentunya, lanjut dia, keringanan utang tersebut bermanfaat untuk negara LMIC, sehingga mereka bisa lebih dapat mengalokasikan dananya untuk kebutuhan warga.

"Ke depan, DSSI tidak hanya sekadar dilanjutkan, tetapi juga kerangka dan kebijakanya diubah lebih baik dengan dapat melibatkan lebih banyak negara untuk berpartisipasi," ucapnya.

Dia sepakat investasi menjadi cara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi menurutnya bukan satu-satunya. Investasi juga perlu didukung kebijakan lainnya. "Kebijakan itu yakni sisi moneter dan fiskal. Ini memiliki peran untuk mendorong pertumbuhan serta restrukturisasi utang," tegasnya.

Pernyataan Akbar ini merespons statemen Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, sehari sebelumnya yang menegaskan investasi menjadi satu-satunya harapan pemerintah untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman krisis global saat ini.

Ekonom Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengatakan restrukturisasi utang untuk negara yang membutuhkan seperti negara miskin dan negara berpendapatan menengah ke bawah sangat diperlukan.

Menurutnya, di tengah ancaman resesi dan berbagai macam krisis, negara tersebut membutuhkan pendanaan dari sisi fiskal untuk melakukan stimulus dan penguatan jaring pengaman sosial.

"Kalau negara negara tersebut tidak mampu merestrukturisasi utang maka kemudian mereka tidak memiliki payment kapasiti untuk melakukan instumen fiskal tersebut," tegasnya.

Negosiasi Alot

Direktur Program Indef, Ester Sri Astuti, menilai penundaan pembayaran utang ini perlu terus diperjuangkan karena alasan kemanusiaan. "Apabila ditunda atau dihapus maka ekonomi lebih cepat pulih. Jika bantu negara lain maka dunia juga akan terhindar dari resesi global," tuturnya.

Meski demikian, langkah memperjuangkan penghapusan utang ini bukan hal mudah bagi negara kreditur. Sebab, negosiasinya sangat alot dan tidak mudah memberikan penundaan bayar utang mengingat dampak Covid-19 juga menimpa negara pemberi utang. Namun, Indonesia harus mencoba peluang ini.

Baca Juga: