JAKARTA - Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Anung Herlianto, menyebut OJK memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit dengan mempertimbangkan potensi cliff effect atau shock (kejut) pada industri perbankan.

"Kalau restrukturisasi kredit terlalu cepat berhenti, akan menimbulkan cliff effect ataupun shock pada industri perbankan, terjadi kredit crunch (kegentingan) yang menghambat pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi," katanya dalam webinar "Urgensi Perpanjangan Kebijakan Restrukturisasi Kredit," di Jakarta, Kamis (19/1).

OJK menerbitkan Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34 Tahun 2022 guna memperpanjang stimulus terkait restrukturisasi Covid-19 sampai Maret 2023 untuk sektor penyediaan akomodasi, makanan dan minuman, tekstil dan alas kaki, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta Provinsi Bali.

Restrukturisasi kredit untuk sektor dan wilayah tertentu tersebut diperpanjang dengan mempertimbangkan berbagai kondisi, seperti tensi geopolitik yang masih tinggi antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga komoditas.

Perpanjangan restrukturisasi kredit tersebut, lanjutnya, juga telah mempertimbangkan pemulihan ekonomi nasional dari dampak Covid-19 dan besaran paparan kondisi perekonomian global terhadap perekonomian nasional.

"Kita juga tidak bisa memperpanjang kebijakan relaksasi kredit sampai terlalu lama karena akan menimbulkan moral hazard, budaya tidak membayar, budaya mengemplang, dan budaya membayar seenaknya oleh kreditur," kata Anung.

Menurutnya, berdasarkan survei Internasional Monetary Fund (IMF) sebanyak 51 negara di dunia telah mulai melakukan normalisasi kebijakan, termasuk dengan mengurangi stimulus kepada pelaku usaha.

Baca Juga: