JAKARTA - Restorasi lahan gambutselama sepuluh tahun terakhir tidak membuahkan hasil yang memuaskan, mengingat jutaan hektare areal mengalami kebakaran hebat, bahkan berulang terbakar hampir setiap tahunnya.

"Kondisi tersebut diperparah dengan alih fungsi lahan, salah satunya untuk proyek lumbung pangan," kata Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, dalam keterangan di Jakarta, Kamis (31/10).

Seperti dikutip dari Antara, Kiki mengatakan Indonesia menjadi negara dengan luas lahan gambut terbesar di dunia. Sayangnya, ekosistem yang harusnya menjadi penyeimbang alam dan penyimpan karbon terbesar malah dirusak atas nama pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam dokumen Program Strategi Nasional.

"Luas areal terbakar di Indonesia tahun 2023 mencapai 2,13 juta hektare. Dari jumlah tersebut, 1,3 juta hektare merupakan area yang sebelumnya pernah terbakar sepanjang periode 2015-2022. Artinya, permasalahan lahan gambut ini belum tuntas dan malah memburuk," kata Kiki.

Dia melihat ada regulasi yang tidak konsisten dari pemerintah dan sering kali menguntungkan pihak perusahaan/swasta. Salah satu contohnya adalah kedalaman gambut yang kurang dari 3 meter boleh dimanfaatkan, padahal semua kondisi kedalaman gambut menyimpan risiko besar untuk terbakar, di samping penerbitan izin perusahaan tidak transparan.

Tumpang Tindih

Buruknya restorasi gambut sepanjang pemerintahan sebelumnya juga diungkapkan oleh Juru Kampanye Pantau Gambut, Abil Salsabila, yang menurutnya dari sedikitnya 4.000 hektare area ekstensifikasi lumbung pangan di eks-PLG seluruh Indonesia, semuanya terbengkalai. Ada temuan, di mana terjadi tumpang tindih antara area ekstensifikasi dengan konsesi sawit.

"Salah satu tantangan utama restorasi lahan gambut adalah keterbatasan data. Pemutihan lahan sawit oleh pemerintah semakin menunjukkan minimnya akses data dan informasi oleh publik. Untuk mewujudkan pemulihan yang utuh, ketersediaan data, dan keterbukaan informasi adalah fondasi utama," ucapnya.

Baca Juga: