oleh antoni putra

Gelombang unjuk rasa di berbagai daerah terus berlanjut. Tidak jarang, demo berakhir ricuh menyebabkan kerusakan fasilitas umum. Korban jiwa berjatuhan. Tuntutan demonstran di berbagai daerah seragam untuk mencabut beberapa undang-undang (UU). Salah saatunya, hasil Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Sumber Daya Air.

Kedua UU dinilai dibentuk dengan menyalahi prosedur dan mengkhianati reformasi. Mereka juga menolak disahkannya Rancangan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan menuntut pembatalan Pimpinan KPK terpilih. Unjuk rasa juga menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Para mahasiswa menolak polisi menduduki jabatan sipil.

Alih-alih mendengarkan tuntutan publik, intensitas legislasi DPR dalam mengesahkan RUU kontroversi malah meningkat. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Hanya dalam 15 hari, DPR ngebut menyelesaikan sejumlah UU kontroversi. Pembahasannya tidak melibatkan partisipasi publik. Ini di ulai dari UU MD3, Revisi UU KPK, RUU Sumber Daya Air, UU Budi Daya Pertanian, dan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) September. Kemudian, Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara, RUU Pesantren, RUU PSDN, RUU Perkoperasian, dan RUU Ekonomi Kreatif. Ssedang kinerja DPR lima tahun hanya sangup merampungkan 35 RUU dari 189 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2015-2019.

Tidak cukup sampai disitu, DPR dan pemerintah juga telah menyetujui revisi UU Permasyarakatan. Salah satu poin revisinya, mempermudah pembebasan bersyarat koruptor. Tentu, semangat legislasi DPR dan pemerintah bertolak belakang dengan agenda reformasi untuk memberantas korupsi. Mereka mengkhianati rakyat karena telah merevisi undang-undang untuk menjegal kejahatan luar biasa.

Selain sarat kontroversi, DPR dan pemerintah dalam membentuk UU juga hanya mengakomodasi kepentingan politik. Misalnya, dalam revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) hanya dilakukan untuk bagi-bagi kekuasaan. Caranya, menambah jumlah pimpinan MPR dari lima menjadi 10. Prosesnya tidak melibatkan publik.

DPR akhir masa jabatan tersebut kian mempertontonkan watak aslinya yang kekanak-kanakan dan bekerja hanya atas dasar kepentingan. Dalam beberapa pembelaan anggota Dewan, mereka mengeklaim membuka ruang dialog untuk menerima masukan terkait RUU yang telah disahkan. Tapi hal itu tidak tepat dan benar-benar membodohi. Seharusnya ruang dialog untuk menerima masukkan publik dilakukan sebelum RUU disepakati dan disahkan, bukan setelah RUU disahkan.

Kemudian, melihat fakta, sikap DPR yang selalu defensif dan memaksakan kehendak dengan tidak mau menerima masukan seperti saat ini, sejatinya dialog pun tidak akan membuahkan hasil. Lihat saja bagaimana derasnya gelombang penolakan sebelum Revisi UU KPK disahkan dalam paripurna, namun tidak satu pun masukan didengar DPR.

Bahkan saat seleksi komisioner KPK, DPR menjadikan pandangan calon terkait revisi UU KPK sebagai pertimbangan untuk memilih. Padahal, saat itu sedang gencar-gencarnya penolakan. Akibatnya, terpilihlah komisioner yang komposisinya tidak ideal. Pada kondisi ini, julukan yang diberikan demonstran pada DPR sebagai "Dewan Penipu Rakyat" tidaklah berlebihan.

Serangkaian peristiwa kinerja legislasi DPR dan pemerintah tersebut cukup untuk menggambarkan sebuah kinerja legislasi yang buruk. Mereka memaksakan kehendak politik dan kepentingan walaupun begitu deras gelombang penolakan. Dalam paktik legislasi DPR dan pemerintah juga mengabaikan prinsip legislasi yang baik, yakni harus memastikan pemetaan dampak bagi, sehingga kehadiran produk hukum baru dapat diterima dan berjalan efektif.

Masih dalam revisi UU KPK, misalnya, KPK sebagai lembaga yang paling terdampak saja tidak dilibatkan. Patut disadari, UU tidaklah sekadar teks dan DPR bukanlah pabrik UU.

Terbitkan Perppu

Respons pemerintah terhadap unjuk rasa mahasiswa pun tidak menjawab persoalan. Yang dituntut mahasiswa bukan sekadar menunda pembahasan RUU, melainkan juga menuntut pemerintah mengeluarkan Perppu untuk mencabut pengesahan Revisi UU KPK dan kembali ke naskah lama.

Selain itu, respons pemerintah juga mengancam demokrasi dengan mengintruksikan kepada kampus untuk meredam demonstrasi. Pemerintah mengancam akan memberi sanksi kepada rector. Ini seolah membenarkan tindakan represif kepolisian. Hal tersebut tentu tidak dapat dibenarkan. Demontrasi adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dalam negara demokrasi. Unjuk rasa cara paling populer yang mendapat tempat dalam demokrasi.

Penyikapan represif aparat kepolisian terhadap demonstran sehingga banyak jatuh korban tidak dapat dibenarkan. Berbagai tindakan kepolisian tersebut kontra demokrasi dan melanggar HAM. Di berbagai media tersebar rekaan aparat keamanan yang melakukan tindakan kekerasan, memukuli, bahkan mengeroyok demonstran dan mengejar sampai ke dalam rumah ibadah.

Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Apalagi bila mengingat kepolisian bertugas mengayomi rakyat. Patut disadari, demontrasi tidak akan terjadi bila kebijakan pemerintah sudah memuaskan. Serangkaian tuntutan yang dilayangkan pengunjuk rasa juga tidak berlebihan.

Mereka hanya menuntut berdasarkan fakta dan realita kinerja buruk DPR dan pemerintah di bidang legislasi. Respons yang ditujukkan pemerintah juga tidak mencerminkan adanya upaya untuk melakukan reformasi regulasi.

Pemerintah seharusnya meredam emosi public dengan mengabulkan tuntutan mereka seperti menerbitkan Perppu pencabutan UU KPK. Bukan malah mancari-cari alasan dengan menyalahkan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa. Apalagi menuduh ditunggangi untuk menjatuhkan pemerintah, membatalkan pelantikan anggota DPR dan Presiden. Respons pemerintah tersebut bukannya meredam demonstrasi, melainkan justgru memicu aksi yang lebih besar.Penulis Peneliti Pusat Studi Hukum dan KebijakanIndonesia

Baca Juga: