Sekjen ASEAN yang baru Kao Kim Hourn resmi memaparkan enam isu yang dianggap perlu menjadi prioritas ASEAN.
JAKARTA - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Kao Kim Hourn, yang secara resmi menerima jabatan tersebut usai acara serah terima di Jakarta, Senin (10/1), memaparkan enam isu yang dianggap perlu menjadi prioritas ASEAN.
Keenam prioritas itu dirangkumnya dalam sebuah daftar yang disebut sebagai '6P'.
"Yang pertama yakni menjaga perdamaian (Peace), stabilitas dan keamanan di kawasan yang terus menjadi utama bagi ASEAN," Hourn saat memberikan pidatonya usai menerima jabatan dari pendahulunya, Lim Jock Hoi.
Poin kedua yakni terkait dengan kesejahteraan atau 'Prosperity', di mana dia meyakini bahwa membangun kesejahteraan secara kolektif maupun masing-masing di negara-negara anggota tetap menjadi hal yang penting bagi ASEAN.
Fokus terhadap lingkungan menjadi poin ketiga yang disimbolkan dengan kata 'Planet' dan mencakup perubahan iklim dan ekonomi hijau yang kian menjadi isu prioritas bagi banyak pihak.
"Keempat yakni memberdayakan masyarakat (People), terutama generasi muda, melalui penguatan pembangunan Komunitas ASEAN, integrasi ASEAN, dan hubungan antar-masyarakat," lanjutnya.
Kemitraan atau 'Partnership' antar sesama negara anggota ASEAN serta kerja sama dengan mitra eksternal menjadi poin kelima, sementara yang keenam adalah potensi (Potentials) ASEAN di berbagai bidang yang perlu diubah menjadi manfaat yang nyata.
Hourn, yang merupakan seorang diplomat asal Kamboja itu menjadi Sekretaris Jenderal ASEAN yang ke-15, meneruskan jejak pendahulunya Lim Jock Hoi.
Menurut keterangan yang dikutip dari laman resmi ASEAN, Hourn telah memberikan kontribusi untuk penguatan hubungan Kamboja dengan ASEAN sepanjang karirnya.
Ia sempat menjabat sebagai salah satu Delegasi Menteri yang bernaung di bawah perdana menteri negara tersebut selama dua periode mulai dari tahun 2013.
Hourn pun telah menulis puluhan buku serta artikel terkait hubungan Kamboja dan ASEAN.
Untuk kontribusinya, dia telah menerima berbagai penghargaan, termasuk Royal Order of Cambodia, Royal Order of Sowathara, dan Grand Order of National Merit.
Pria tersebut merupakan penyintas genosida Kmer Rouge yang kemudian pindah dan tinggal di Amerika Serikat pada usia 15 tahun. Pada tahun 1993, ia kembali ke tanah airnya dan memimpin sebuah lembaga think-tank yang fokus pada urusan ASEAN dan hubungan internasional.
Ia kemudian bekerja di pemerintahan Kamboja dalam berbagai kapasitas dari tahun 2001 hingga 2013, termasuk sebagai Menteri Luar Negeri.