» Skema baru diharapkan isinya tidak hanya soal reschedule pembayaran utang, tetapi menawarkan penyelesaian agar negara miskin bisa keluar dari debt trap.

» Dalam jangka pendek, utang dapat menutup defisit anggaran namun perlu diwaspadai kemampuan membayar utang.

JAKARTA - Bank Dunia menyerukan perlunya pendekatan baru untuk mengatasi krisis utang yang telah memuncak di berbagai negara. Hal itu karena perhitungan utang belum memasukkan penarikan pinjaman dalam negeri dan skema yang diajukan negara kelompok 20 (G20) tidak memperhitungkan 61 persen utang yang kreditornya adalah investor swasta.

Menanggapi usulan Bank Dunia itu, peneliti masalah kemiskinan sekaligus Guru Besar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan tidak sekadar skema penyelesaian krisis utang baru, namun negara-negara miskin perlu dipulihkan sejajar kedudukannya dengan negara kreditor.

"Skema baru nanti diharapkan tidak hanya memuat reschedule (penjadwalan ulang) pembayaran seperti yang sering dikemukakan, tapi karena lemahnya negara-negara miskin ini, yang mereka perlukan adalah penghapusan utang agar tidak terus berada dalam debt trap," kata Bagong.

Lebih dari itu, struktur mereka perlu dipulihkan sejajar dengan negara-negara pemberi utang, agar punya bargaining position yang sama. Tanpa bargaining yang sama, ketimpangan kedudukan ini akan selalu menimbulkan neo kolonialisme atau penjajahan gaya baru lewat ekonomi," tutur Bagong.

Kepala Ekonom Bank Dunia, Indermit Gill, kepada Reuters seperti dikutip Antara, mengatakan Kerangka Kerja Bersama yang digagas Kelompok 20 ekonomi utama (G20) untuk membantu negara-negara termiskin, hanya menghasilkan kemajuan glasial karena tidak memperhitungkan 61 persen utang luar negeri negara-negara berkembang yang dipegang oleh kreditor swasta. Bagian yang dipegang oleh kreditor swasta itu jauh lebih besar daripada beberapa dekade yang lalu.

Peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet, mengatakan tentu pendekatan/ pengukuran utang menjadi penting dalam mengukur tingkat keamanan utang negara berkembang atau negara miskin.

Namun demikian, yang tidak kalah penting adalah bagaimana langkah bersama lembaga global dan negara maju dalam mengurangi/menghapus utang negara terutama negara termiskin.

"Kenapa demikian, karena aksi nyata seperti inilah yang tidak boleh luput dari upaya G20 terkait utang terutama utang luar negeri," kata Rendi.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan keberlanjutan pembangunan suatu negara sangat dipengaruhi oleh utang baik utang luar negeri maupun dalam negeri, baik dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, maupun swasta.

Dalam jangka pendek, utang dapat menutup defisit anggaran, bahkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. "Namun yang perlu diwaspadai keberlanjutannya terutama kemampuan membayar utang yang berkaitan dengan jatuh tempo utang tersebut," ungkap Suhartoko.

Tingkat kepatuhan itu berkaitan dengan kemampuan meningkatkan penerimaan negara. Begitu pula sumber utang harus diperhatikan karakteristiknya baik tenor maupun bunganya.

Sebab itu, utang pemerintah harus dikaji secara komprehensif dengan memperhitungkan portofolio utang.

Krisis Sistemik

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan masalah utang seperti diungkapkan Bank Dunia memang berisiko memicu krisis sistemik global pascapandemi. Risiko utang juga perlu dicermati untuk kondisi Indonesia di mana porsi utang saat ini 88 persen lebih dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) yang artinya sangat bergantung pada bunga pasar.

"Tren inflasi dan kenaikan suku bunga bisa membuat beban utang naik signifikan sementara upaya untuk melakukan pengurangan beban utang menjadi sulit," jelas Bhima.

Menurut Bhima, Indonesia bisa saja memanfaatkan fasilitas debt swap (pertukaran utang dengan program) dan debt suspenssion (penangguhan bunga utang), tapi itu hanya bisa berfungsi dengan kreditur non SBN.

Baca Juga: